Bisnis Kerajinan Pahat, Mencoba Bertahan dalam Keterbatasan

Oman Sumarna pelaku bisnis seni pahat

Seni pahat primitif menjadi urat nadi kehidupan Oman Sumarna. Keahlian itu sudah dimiliki Oman sejak menjadi bujangan tahun 1975, saat ia masih tinggal di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Lewat tangannya yang terampil, sejumlah karya kerajinan pahat telah lahir dan mengisi ruang etalase rumah orang-orang kaya.

Oman memang cukup serius melakoni profesinya sebagai pelaku seni pahat. Sejumlah jenis pahatan seperti dari daerah Maluku, Nias, Sumatera Utara, Kalimantan, hingga Papua bisa ia buat. Meski keahlian itu didapatnya secara otodidak dengan belajar langsung kepada buku. Namun, soal hasil karyanya, seni pahat buatan Oman tidak kalah dengan buatan para seniman yang terdidik secara akademis.

Lewat kerajinan pahat ini pula, Oman mengalami jatuh bangun dalam kehidupan. Tahun 1980 hingga tahun 2000 adalah masa-masa keemasannya sebagai pemahat. Banyak pesanan yang datang kepadanya hingga membuat bisnis kerajinan pahat tersebut berjalan lancar. Omzetnya pun cukup besar kala itu, tak kurang dari Rp 5 juta dalam sebulan bisa ia kantongi dari penghasilannya membuat seni pahat primitif.

“Pembelinya dari berbagai kalangan. Mungkin juga dari luar negeri ada yang beli, cuma belinya tidak ke saya langsung, tapi ke distributor,” ujarnya kepada BisnisUKM.com di rumahnya, kawasan Sawangan, Depok, Jawa Barat, Senin (9/5).

Baca Juga Artikel Ini :

Mendulang Untung Dari Kerajinan Memahat Es Batu

Bisnis Kerajinan Batu Paras Putih

Oman mengaku, membuat seni pahat tidak serumit yang dibayangkan. Bahkan, jika ada ide ia langsung memahatnya tanpa menggambarnya terlebih dahulu. Setelah dipahat, kemudian kerajinan kayu ini dibakar menggunakan kompor semprot. Selanjutnya barulah tahap finishing dengan pengamplasan dan pewarnaan.

“Dibakar biar kesannya unik, kalau pewarnaan paling hanya dipernis. Sebab, kalau seni pahat malah lebih bagus yang apa adanya, biar kesan unik dan klasiknya dapet,” jelasnya.

Untuk jenis kayu, Oman menyebut saat ini banyak kayu bisa dibuat seni pahat. Beragamnya pilihan kayu membuatnya lebih fleksibel dalam berkarya. Namun begitu, untuk membuat kerajinan pahat ia tak memiliki target khusus.

“Pakai kayu jati, kayu nangka, atau mahoni juga bisa. Tapi, jangan yang terlalu lembek. Kalau yang terlalu lembek mudah hancur saat dipahat. Sehari saya bisa buat satu pesanan,” katanya.

Buka Usaha di Rumah untuk Efisiensi Pengeluaran

Oman Sumarna pelaku bisnis seni pahatMembuka usaha di bidang kerajinan seni tidak seperti membuka usaha makanan. Usaha seni pahat Oman tidak mengenal waktu-waktu tertentu, sehingga pembeli pun tidak bisa ditebak kedatangannya. Pada tahun 2003 Oman pun pernah membuka toko di salah satu mall di Depok. Tapi, ia hanya bertahan tujuh bulan lantaran tokonya sepi pembeli.

“Dulu pernah buka di mall, itu gratis untuk UKM. Tapi, karena posisinya di pojok, banyak pembeli yang tidak tahu. Sedangkan untuk ke mall kita butuh biaya untuk ongkos dan makan,” jelasnya.

Oman menambahkan, tahun 2014 dirinya juga sempat membuka gallery di Jl Abdul Wahab Sawangan dengan menyewa. Sepinya pembeli membuatnya lagi-lagi harus menutup gallery yang disewanya Rp 8 juta setahun.

“Padahal untuk harga yang ditawarkan tidak mahal. Harga patung ukuran 30 cm saya jual cuma Rp 50 ribu, kalau yang ukuran 1-2 meter harganya antara Rp 1-2 juta. Sekarang saya nunggu pembeli dari rumah saja, biar lebih hemat,” ucapnya.

BINGUNG CARI IDE BISNIS ?
Dapatkan Ratusan Ide Bisnis Dilengkapi Dengan Analisa Usaha.
Klik Disini

Beharap Perhatian Pemerintah

Oman Sumarna pelaku bisnis seni pahatBisnis kerajinan seni pahat primitif yang dijalankan Oman bisa dibilang sangat unik. Tak heran, usahanya pernah dijadikan salah satu UKM unggulan di Kota Depok. Ia pun berharap usaha yang telah dijalaninya sejak puluhan tahun ini mendapat perhatian dari pemerintah baik soal modal maupun ruang promosi gratis yang memadai.

“Tahun 2003 saya pernah dapat bantuan modal Rp 10 juta. Saya berharap ada bantuan lagi, karena untuk modal peralatan dan operasional saja kita butuh hingga Rp 29 juta,” jelas ayah dengan empat anak itu.

Menurutnya, modal diperlukan untuk membeli kayu dan peralatan seperti cat, amplas dan sebagainya. Dengan dukungan modal ia berharap bisa mengembangkan usahanya menjadi lebih maju lagi.

“Sekarang kalau buka toko mahal, dulu saja sewanya tahunan, tapi saya hanya mampu bayar bulanan. Mudah-mudahan ada perhatian dari pemerintah agar usaha ini bisa tetap jalan,” harapnya.

Tim Liputan BisnisUKM

(/Dunih)

Kontributor BisnisUKM.com wilayah Depok