Kisah Inspiratif Dari Desa Jamu, 35 Tahun Geluti Usaha Jamu Keliling

Kisah Inspiratif Dari Desa Jamu, 35 Tahun Geluti Usaha Jamu KelilingDesa Nguter sudah puluhan tahun lalu terkenal sebagai sentra usaha jamu tradisional. Tak kaget, dimana pun kita bertemu penjaja jamu keliling, mereka berasal dari Desa Nguter. Sementara banyaknya warga Desa Nguter yang berprofesi sebagai penjual jamu ternyata bukan isapan jempol. Salah satunya Pariyem yang sudah 35 tahun menjajakan jamu keliling.

35 tahun bukan waktu yang sebentar bagi Pariyem. Berjualan jamu selama itu juga bukan perkara mudah. Namun, berkat usaha gigihnya tersebut, Pariyem mampu menyekolahkan keempat anaknya hingga lulus Sekolah Menengah Kejuruan. Bahkan si sulung kini sudah bekerja di salah satu BUMN ternama.

Pariyem memulai debut berjualan jamu gendong pada usia 17 tahun, usia dimana anak lain masih sibuk sekolah dan bermain. Lewat bimbingan bibinya, Pariyem pun memberanikan diri merantau ke kota yang lebih besar. Di kota besar rantauan, Pariyem tetap berprofesi sebagai penjual jamu gendong,namun mampu meracik sendiri jamunya.

Kelana Pariyem ia sudahi 20 tahun setelahnya. Pariyem kembali ke desa kelahiran dan tetap menjajakan jamu. “Awalnya Bulik (Bibi) yang mengajari saya membuat Jamu. Lalu saya sama Bulik merantau ke Jawa Timur. Pertama jualan itu saya umur 17 tahun lho Mas,” kenang Pariyem kepada BisnisUKM.

Buah Kegigihan Penjaja Jamu Keliling

Jamu buatan pariyem hanya seharga dua ribu rupiah per gelasMenjadi penjaja jamu bagi Pariyem cukup sulit. Ia harus bangun pagi-pagi sekali untuk mempersiapkan jamu dagangannya. Seluruh bahan diproses seketika itu juga agar jamu terus segar. Pariyem menggunakan empon-empon alami yang dibelinya dari petani sekitar.

Pukul 6 pagi, Pariyem sudah harus berangkat. Kini ia lebih terbantu karena menggunakan sepeda motor untuk berkeliling. Sebelumnya ia harus menggendong puluhan botol berisi jamu dan berjalan kaki dari satu desa ke desa lain.

Pariyem bersyukur hanya butuh waktu setengah hari untuk menghabiskan 30 botol jamu yang ia bawa. Pariyem pun mengaku pasarnya kini semakin laris, salah satunya berkat dinobatkannya Desa Nguter sebagai Desa Jamu beberapa tahun lalu. Dalam setengah hari tersebut, Pariyem mampu meraup omzet mencapai 300 ribu rupiah.

Sayangnya, ilmu membuat jamu dan bisnis jamunya tidak turun ke penerusnya. “Suami dulunya tukang becak, kini alih profesi membantu saya usaha jamu. Adik juga bantu berjualan. Sayangnya anak-anak tidak ada yang mau meneruskan usaha jamu,” ungkap Pariyem tersenyum.

Berkat Langganan, Nama Desa Nguter Terangkat

Kisah merantau Pariyem membuat nama Desa Nguter terangkat. Setali tiga uang, ketenaran Nguter sebagai Desa Jamu membantu Pariyem dan suaminya, Lasino, dalam penjualan. Menurutnya, warga semakin yakin dengan jamu jualan mereka, sebab berasal dari desa sentra jamu.

Predikat Desa Jamu tak hanya datang dari banyaknya warga yang berjualan jamu saja. Sebutan itu juga karena banyaknya masyarakat Kecamatan Nguter yang masih mengkonsumsi jamu tradisional. Mereka mengkonsumsi jamu baik untuk menjaga kesehatan maupun menyembuhkan penyakit.

Berkat itu pula langganan jamu Pariyem semakin banyak. “Saya biasanya nunggu di rumah Mas. Tapi daripada kehabisan saya datangi Bu Pariyem di sini (Pasar Jamu Nguter.red). Saya cocok sih dengan jamunya Bu Pariyem. Awalnya pegal-pegal tapi rutin minum ini pegalnya sembuh,” ungkap Wahyu Sri, salah satu langganan Pariyem.

Menurut Pariyem, penjual jamu juga harus paham keluhan kesehatan. Pariyem membawa banyak jenis jamu mulai jamu kunyit asam, beras kencur, kulit manggis, kulit sirsak, temulawak, cabai puyang, daun papaya, daun sirih dan lainnya. Satu gelas jamu milik Pariyem dibandrol harga hanya dua ribu rupiah.

Tim Liputan BisnisUKM
(/Rizki B.P)
Kontributor BisnisUKM.com Wilayah Solo Raya