Mahasiswa Sastra Ini Ciptakan Bisnis Boneka Daur Ulang Daun Lontar

Mahasiswa sastra Inggris merintis bisnis boneka daur ulang daun lontar
Tak hanya ingin meraup keuntungan besar dari bisnis boneka daur ulang daun lontar, I Komang Sukarma juga berharap kreasinya jadi souvenir khas Bali dengan mengusung nilai budaya lokal.

Berawal dari ajang lomba, anak muda yang tercatat sebagai mahasiswa Sastra Inggris – Universitas Udayana, Bali, itu kini justru tekun berkreasi dan merintis bisnis boneka daur ulang daun lontar berlabel Cilota. Tak hanya ingin meraup keuntungan besar dari bisnis boneka daur ulang daun lontar, I Komang Sukarma juga berharap kreasinya mampu menjadi souvenir khas Bali dengan mengusung nilai budaya lokal.

“Tahun 2016 lalu, saya bersama rekan (Angga dan Dadi) mewakili kampus mengikuti kegiatan LKTI yang berlangsung di Lampung. Tema lomba itu mengenai kreativitas lokal, saya dan kedua rekan tertarik membuat boneka yang terinspirasi dari figur Cili, yang melambangkan kesuburan dan keindahan. Nah, karena bahannya menggunakan lontar, boneka itu dinamakan Cilota. Singkatan dari Cili dan lontar,” ujar I Komang Sukarma, yang berasal dari Dusun Taman Sari, Desa Tianyar Barat, Kec Kubu, Karangasem, Bali.

Pada even LKTI itu, boneka Cilota berhasil mendapatkan penghargaan sebagai juara harapan III. Dan ketika boneka Cilota dibawa kembali ke Bali dan dipertunjukkan di sejumlah rekan dan dosen, ternyata banyak yang berminat lantas memesan.

Coba Kreasi Boneka Couple Dari Daun Lontar

Cilota boneka daur ulang daun lontarMelihat tingginya respon orang-orang terdekatnya terhadap boneka Cilota, Komang lantas terpikir untuk menjadikannya sebagai souvenir. Sebagai pengembangan usaha, Komang pun mengemas boneka ini menjadi ‘ boneka couple’ atau berpasangan dan membuat plakat acara. Bahkan, anak muda ini sudah merancang angan, ke depan ingin membuat bisnis boneka wisuda yang bercirikan budaya Bali.

Boneka Cilota dibuat berukuran 7 cm – 25 cm, dengan menggunakan bahan baku utama daun lontar. Selama ini, Komang sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk mendatangkan daun lontar, dikarenakan di daerah kelahirannya, Tianyar, banyak ditemukan pohon lontar.

Bahan pendukung lainnya ialah koran bekas, kain perca, jerami, tulang daun aren, serta pis bolong bekas. Koran bekas ini digunakan sebagai wadah boneka Cilota, sehingga tampilannya menjadi unik dan menarik.

“Kalau harga boneka, berkisar antara Rp 60 ribu – Rp 150 ribu. Harga tergantung tingkat kerumitan dan ukuran boneka. Saya biasa memproduksi boneka untuk stok karena sering ada permintaan mendadak. Namun kadang saya pun membuat boneka sesuai pesanan,” kata mahasiswa semester enam di Universitas Udayana ini.

Kebanjiran Orderan Dari Dosen Sampai Wisatawan

Souvenir boneka CilotaSeiring dengan makin meningkatnya pemesanan, maka Komang belakangan ini memproduksi boneka dengan dibantu rekan dan sejumlah sahabatnya, yang sama-sama tinggal di Ashram Gandhi Puri, di Klungkung. Bersama para sahabat ini, Komang giat berkreasi menciptakan boneka Cilota, di sela-sela kesibukannya belajar di kampus.

“Dosen-dosen akhirnya sering memesan, karena dulu boneka ini memang belum ada yang mengemasnya menjadi souvenir. Malah kalau ada tamu atau wisatawan yang berkunjung ke Ashram Gandhi Puri dan melihat penampilan boneka Cilota, spontan suka tertarik dan menjadikannya oleh-oleh untuk dibawa pulang ke negaranya,” ujar Komang.

Komang berharap, usahanya mempopulerkan boneka Cilota ini mendapat sambutan yang luas. Apalagi, dia menekankan kalau boneka Cilota ini merupakan karya sebagai kreativitas yang sarat budaya lokal.

Komang juga memberikan pelatihan membuat CillotaSampai kini, Komang belum menemukan permasalahan  berarti terkait proses produksi boneka Cilota, mengingat banyak sahabat yang membantu proses pengerjaannya. Hanya saja yang menjadi sedikit kendala, pengerjaan boneka itu dibuat dengan serba manual, karena belum memiliki mesin pendukung. Misalnya, mesin jahit. Meski demikian, Komang menjamin kalau boneka Cilota yang diproduksi bersama sejumlah sahabatnya itu memiliki kualitas teruji dan tidak dijahit dengan serampangan.

“Semoga apa yang kami kerjakan menjadi satu langkah kecil untuk melestarikan budaya lokal. Selain belajar mandiri, kami juga berharap di zaman globalisasi seperti ini, generasi muda hendaknya terus menumbuhkan kecintaan pada produk lokal dan mulai membangun sesuatu dari hal-hal yang paling kecil dan sederhana, fokus serta berkelanjutan,” katanya.

Tim Liputan BisnisUKM
(/Vivi)
Kontributor BisnisUKM.com Wilayah Bali