Pertahankan Pakem Lurik, Raden Rachmad Berhasil Ambil Ceruk Pasar

 

Raden Rachmad lebih dari separuh abad mengabdikan diri pada lurik
Raden Rachmad (84) sudah lebih dari separuh abad mengabdikan diri pada lurik. Ia juga saksi sejarah lurik di kampung halamannya. Tak heran bila ia disebut-sebut Mpunya lurik di Pedan.

KLATEN, JAWA TENGAHHampir semua warga Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten, kenal Raden Rachmad. Bagaimana tidak? Rachmad merupakan sesepuh usaha lurik. Di 84 tahun usianya saat ini, ia sudah menghabiskan dua per tiga usianya untuk mencintai lurik.

Bagi Rachmad, semua benda dapat ditenunnya. Sudah puluhan tahun berlalu, sejak ia mendirikan usaha tenunnya sendiri Sumber Sandang di rumahnya di Jalinan, Kedungan, Pedan, Klaten. Kini enam dari delapan anaknya pun mengikuti jejak sang ayah mengelola usaha tenun.

Selain sebagai usahawan, Rachmad juga seorang budayawan yang memegang teguh prinsip dan pakem tenun lurik. Lurik merupakan aksen garis kecil karena dalam bahasa Jawa, huruf “i” mengisyaratkan sesuatu yang kecil. “Kalau garisnya besar namanya bukan lurik tapi lurok,” candanya kepada tim BisnisUKM.com, Senin (24/10/2016)

Dalam pengerjaannya pun, Rachmad memilih melibatkan banyak campur tangan manusia menggunakan alat tenun bukan mesin atau ATBM. Menurutnya manusia punya hati, dan apapun yang dikerjakan dengan hati bakal jauh lebih bagus hasilnya.

Rachmad mempertahankan alat tenun bukan mesin atau ATBM

Idelaisme itu pun kini dihadapkan dengan kenyataan bahwa keberadaan ATBM dan pakem lurik mulai tergusur dengan adanya mesin dan inovasi lurik sesuai mode dan trend. Alih-alih mengikuti perkembangan zaman yang ada, Rachmad memilih mengambil ceruk pasarnya sendiri.

Ketika euphoria lurik modern tengah semarak di negeri sendiri, Rachmad malah melancong ke Pulau Bali. Di Pulau Dewata itu ia mempunyai misi memperkenalkan pakem lurik pada sebanyak mungkin wisatawan asing. Benar saja, lurik yang masih sesuai pakem sangat laku di sana. Apalagi penghargaan mereka terhadap handmade jauh lebih baik.

Akhirnya secara rutin saat ini ia mengirim kain ternun lurik tradisionalnya ke Bali. Selain itu, Rachmad juga mengirimnya ke sejumlah negara tetangga. “Misinya tak hanya memperkenalkan pakem lurik. Namun juga sejarah lurik serta Pedan, sebagai cikal bakal sentra lurik sekaligus kampung halaman saya,” tuturnya.

Sejarah Lurik Pedan Lahir di Tenda Pengungsian

Rata-rata karyawan Sumber Sandang berusia 40-70 tahun

Tak afdol rasanya bila kita bicara tentang Sang Maestro, tanpa membicarakan sejarah lurik di kecamatan Pedan. Jauh sejak dulu, Kecamatan Pedan memang sudah tersohor sebagai cikal bakal sentra usaha tenun lurik di wilayah Solo Raya. Bahkan gaungnya merambah hingga seantero Nusantara dan mancanegara.

Sejarah lurik wajib ditarik pada pertengahan tahun 1930-an. Waktu itu seorang pemuda bernama Suhardi Hadi Sumarto belajar teknik dan seni lurik di Bandung. Sepulangnya dari sana ia mendirikan Werewy Familie, sebuah usaha tenun lurik yang pertama kali di Kecamatan Pedan, Klaten.

Usaha Werewy Familie begitu moncer hingga akhirnya Agresi Militer Belanda pun sampai ke Pedan tahun 1948. Serangan tersebut membuat warga  terpaksa menetap di camp-camp pengungsian, tak terkecuali para pekerja Werewy Familie. Demi mencari kesibukan, para pekerja tersebut mengajarkan ilmu tenun lurik kepada warga Pedan dan akhirnya selepas agresi, usaha tenun lurik pun kian menjamur.

Pakem motif garis kecil dipertahankan Rachmad pada-kain-lurikPedan menemui masa kejayaannya sebagai sentra lurik antara tahun 1950-1960. Waktu itu sekitar 500 usaha tenun lurik berdiri dan mempekerjakan 60.000 penenun yang mayoritas warga Pedan dan sekitarnya. Maka tak heran, bila sampai sekarang warga Pedan masih mempunyai darah penenun lurik dan pandai menenun menggunakan ATBM.

“Rata-rata yang mengoperasikan ATBM di sini berkisar usia 40 sampai 70 tahun. Para pemuda sebenarnya bisa, namun mereka meminta bayaran tinggi yang tak sanggup kita penuhi. Kebanyakan mereka memilih bekerja di pabrik,” ujar Sapto Aji, salah satu pegawai muda di Sumber Sandang.

Era Mesin Adalah Keniscayaan

Seorang karyawan tengah memintal benang hankTahun 1965, modal asing mulai berdatangan di Indonesia, merangsek masuk ke dalam industri-industri kerakyatan, tak terkecuali industri tenun lurik di Pedan. Mesin-mesin menawarkan kerja cepat, massal, efektif dan efisien. Kehadirannya pun perlahan tapi pasti menggeser alat tenun tradisional.

Nyatanya memang begitu, kerja ATBM mulai dari menggulung benang menjadi cone, kemudian dilikas menjadi hank, hingga akhirnya ditenun menjadi lurik, semua mampu dikerjakan mesin. Keduanya sebenarnya mempunyai cara kerja yang sama.

Sebelum menjadi kain lurik, hank dicampur kanji dan pewarna kain. Kanji digunakan untuk memperkuat serat benang, sedangkan pewarna untuk dipadu sesuai motif tenun lurik. Setelah itu, masuk ke proses perendaman yang dilakukan hingga semalam penuh.

Setelah dikeringkan, hank kemudian dikelos menjadi gulungan cone lagi. Setelah itu gulungan cone dikombinasikan warnanya menjadi gulungan beam dan dicocok manual memakan waktu sekitar tujuh jam. Barulah setelah itu, benang siap ditenun menjadi kain lurik.

Bila dengan satu ATBM, tenun lurik sepanjang 10 meter dapat dibuat dalam sehari, dengan mesin bisa ratusan meter. “Meski ATBM kini sudah tergeser, namun harus tetap ada yang melestarikan supaya anak cucu nanti kenal dengan sejarah akar budaya mereka. Saya pikir ini lebih penting dari sekedar menjalankan industri,” ungkap Rachmad.

Saat ini di tempat Rachmad ada 50 lebih ATBM. Namun, yang rutin beroperasi hanya 25 hingga 30 ATBM. Selain merosotnya jumlah penenun ATBM, industrialisasi juga menjadi penyebabnya. “Saya sangat yakin bahwa lurik yang sesuai pakemnya tak akan pernah mati,” tutup Rachmad.

Tim Liputan BisnisUKM

(/Rizki B. P)

Kontributor BisnisUKM.com wilayah Solo Raya