Bisnis Kreasi Kain Lurik Semakin Dilirik

Berawal dari rasa kecintaan pada budaya tenun tradisional yang ada di Indonesia, Adinindyah Feriqo (40) bersama beberapa orang rekannya sepakat untuk mendirikan Lawe pada tahun 2003. Ketika bekerja pada sebuah lembaga NGO (Non Government Organization) di daerah Sumba Barat, Mbak Adinin begitu beliau biasa disapa menemukan tenun tradisional di wilayah tersebut yang tidak tergarap secara maksimal. Tidak tergarapnya tenun tradisional tersebut lebih dikarenakan harganya yang cukup mahal dan berat, sehingga tidak terjangkau untuk kalangan masyarakat umum.

Melihat adanya potensi untuk pengembangan produk tersebut, Mbak Adinin mulai memikirkan cara agar tenun tradisional seperti yang beliau jumpai di Sumba Barat memiliki nilai jual lebih di pasaran. Dari hasil pemikiran Mbak Adinin dan teman-temannya selama beberapa waktu, maka lahirlah beberapa produk kreasi berbahan tenun tradisional seperti dompet, tas, accosories, bahkan baju.

kain lurik LaweSetelah tidak lagi bekerja di lembaga tersebut (NGO), Mbak Adinin memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta. Ternyata apa yang ditemuinya di Sumba Barat kasusnya sama dengan yang terjadi di Jogja. Di kota yang terkenal dengan sebutan kota seni dan budaya tersebut kain tenun tradisional (khususnya lurik) belum tergarap dengan maksimal. Padahal tidak sedikit pengrajin yang menggantungkan asa dari memproduksi kain tenun yang menjadi salah satu budaya adiluhung selain batik.

Dari situlah Mbak Adinin mulai berfikir untuk menggarap secara serius tenun tradisional khususnya lurik menjadi produk yang bernilai jual tinggi di pasaran. Beliau bergerilya mencari para pengrajin tenun tradisional yang masih menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) di seputaran wilayah Yogyakarta. Dari hasil gerilyanya itu, beliau menemukan beberapa pengrajin yang kemudian diajak kerjasama dalam pengembangkan usaha Lawe.

Perkembangan Lawe

Belum lama ini tim liputan bisnisUKM mengunjungi workshop Lawe yang berlokasi di depan Jogja Nasional Museum Yogyakarta. Di situ kami disambut oleh Fitria selaku bisnis unit manager Lawe yang menjelaskan perkembangan Lawe sejauh ini. Ketika ditanya apa yang menjadi kegiatan utama Lawe, wanita yang bergabung sejak tahun 2006 tersebut menjelaskan bahwa kegiatan utama Lawe saat ini adalah mendevelop tenun tradisional Indonesia.

“Intinya kami mendevelop kain tenun tradisional menjadi sebuah produk/ barang modern dan fungsional untuk memberikan nilai tambah pada tenun itu sendiri,” jelasnya. Kain tenun tradisional yang dikembangkan Lawe saat ini core utamanya adalah lurik, yang banyak diproduksi di beberapa daerah, khususnya di Yogyakarta.

“Bahan-bahan itu dikreasikan menjadi berbagai bentuk, di antaranya accessories, dompet, kantong kecil, tas (tas jinjing, tas laptop, tas belanja), bahkan baju, lurik bermotif salur dipadukan dengan lurik polos, berwarna terang maupun gelap, hasilnya, barang-barang cantik, unik, dan gaya,” imbuh Fitria.

Dari segi proses produksi, Fitria menjelaskan jika selama ini Lawe mempercayakan kepada para pengrajin tenun lurik yang tersebar di wilayah Jogja. “Desain dan material dari kami, selanjutnya kami kirimkan ke rumah pengrajin, setelah jadi kami ambil dan check (Quality Control) di Lawe,” lanjutnya.

Fitria LaweProduk-produk kreasi Lawe kemudian dipasarkan melalui pameran serta media online. “Pada mulanya memang rada susah, karena masyarakat memang belum familiar dengan kreasi dari tenun lurik seperti ini, alhasil ketika pameran saya justru lebih banyak memberikan penjelasan atau edukasi tentang produk kita ini,” terangnya lagi. Namun dengan kualitas yang mereka miliki, lambat laun produk kreasi Lawe mulai mendapat tempat di hati masyarakat, tidak hanya dari dalam, tetapi juga dari luar negeri.

“Sejauh ini kami memang menomor satukan kualitas, standar khusus kami terapkan pada setiap produk kreasi Lawe, karena untuk bisa bersaing dalam bisnis kreatif ini memang itu jalan satu-satunya,” jelas Fitria sembari tersenyum. Dari segi harga, produk Lawe dipasarkan dari mulai Rp.8.000,00 s.d. Rp.1.500.000,00/ pcs, tergantung jenis produknya. Dengan standar harga seperti itu, dalam sebulan Fitria mengaku jika Lawe bisa menghasilkan omzet di kisaran 80 juta Rupiah.

Program sisterhood

kreasi tas lurikSelain murni dalam pengembangan bisnis, Lawe juga meluncurkan program sisterhood, yakni mengajak dan mengumpulkan teman-teman dari daerah lain yang punya kain tenun tradisional dan ingin didevelop. “Sejauh ini ada beberapa daerah yang bergabung, seperti Wakatobi, Lampung, Sumba, Bali, dan beberapa daerah lainnya,” terang Fitria. Masing-masing dari mereka (anggota sisterhood) mengusung kain tenun tradisional dari wilayahnya untuk dikembangkan menjadi beberapa produk seperti yang ada di Lawe.

“Meskipun dikembangkan di Lawe, tetapi mereka punya merk sendiri-sendiri,” lanjutnya. Program tersebut masih terbuka kepada daerah-daerah lain yang ingin memberikan nilai tambah pada kreasi kain luriknya. Sepertinya apa yang dilakukan oleh Lawe bisa menjadi contoh bagi para pelaku usaha lain dalam rangka pengembangan produknya.

“Point utamanya, kami masih ingin menambah keterlibatan perempuan (pengrajin) yang lebih banyak lagi, dengan begitu maka kaum perempuan di negeri ini akan semakin produktif dan memiliki kesibukan yang bernilai ekonomi,” kata Fitria sekaligus menutup wawancara pada kesempatan siang hari tersebut. Salam sukses!

Tim liputan bisnisUKM