Rutinitas kantor yang dirasa semakin melelahkan, menjadi satu alasan bagi Theresia Elsye Wijaya (40) untuk keluar dari pekerjaan sebelumnya di kantoran dan fokus merintis bisnis pempek Palembang. Dengan bermodalkan uang hasil pinjaman bank sebesar Rp 100 juta, Elsye merintis bisnis kecil-kecilan pempek Palembang pada tanggal 16 Oktober 2008 silam.
“Berawal dari semakin tidak bersahabatnya lalu lintas di Jakarta sehingga membuat perjalanan dari rumah menuju kantor sangat melelahkan dan butuh perjuangan, saya meminjam dana dari bank dan warung makanan khas daerah Palembang yaitu Pempek 1610,” ujarnya. Bisnis kuliner khas Palembang ini Ia rintis bersama sang suami tercinta dibantu dengan orang tua yang selalu mengajarkan membuat resep pempek Palembang menjadi enak.
“Dalam menjalankan bisnis ini, kami saling berbagi tugas dari awal pemilihan dan penyiapan bahan baku yaitu pemilihan ikan tengiri yang bagus hingga penanganan promosi penjualan, saya serahkan kepada sang suami. Sedangkan untuk penyediaan data penjualan hingga jurnal laba dan ruginya, saya serahkan kepada anak kami yaitu Aloysius Grandis Pranowo,” kata Elsye.
Setelah belum genap 1 tahun bisnis pempek 1610 ini berjalan, dengan tekad yang tulus untuk membesarkan usaha tersebut Elsye memutuskan diri keluar dari pekerjaan kantoran yang telah Ia jalani selama 16 tahun. “Saya resign dari pekerjaan dengan jabatan terakhir sebagai manager marketing pada sebuah bank swasta terkenal di Jakarta,” ucapnya tanpa ragu.
Melihat persaingan pasar akan bisnis pempek Palembang di sekitar rumahnya (Ciledug, Tangerang) saat itu masih sangat minim, dengan tekad yang tulus Elsye yang notabene sebagai puteri daerah Palembang yang saat ini tinggal di ibukota berkeinginan menjadikan makanan khas Sumatera Selatan ini menjadi makanan favorit bagi semua kalangan masyarakat. “Selain itu kami juga terinspirasi membuka bisnis pempek 1610 ini karena telah dijalankan oleh keluarga dan berhasil di tanah Sriwijaya Palembang,” imbuhnya.
Menyiasati Persaingan Dengan Produk yang Beragam
Dalam menjalankan bisnis kuliner, Elsye sangat mempercayai bahwa kelengkapan barang atau keragaman makanan sangat menentukan besarnya keuntungan yang akan diperoleh pengusaha. “Untuk itu kami menyediakan macam-macam pempek dari mulai kapal selam, telor kecil, adaan, lenjer, pistel, keriting, tahu, kulit, tekwan, model, laksan, lenggang, celimpungan hingga rujak mie serta macam kemplang dan krupuk,” jelas Elsye.
Disajikan dengan kisaran harga yang sangat terjangkau yaitu Rp 4.000,00/ biji untuk pempek ukuran kecil, dan Rp 15.000,00/ biji untuk pempek ukuran besar, saat ini bisnis warung pempek 1610 ini bisa mengantongi omzet sekitar Rp 40juta hingga Rp 60 juta dalam sebulan. “Adapun misi kami menjadikan makanan khas Palembang ini sebagai makanan yang dapat dinikmati semua kalangan luas, maka penentuan harganya kami sesuaikan,” katanya.
Untuk mempertahankan citarasa asli pempek dari Palembang, sampai saat ini Elsye masih mendatangkan beberapa bahan baku dari Pulau Sumatra. Sebut saja seperti gula batok, cuka, krupuk dan lain-lain. “Untuk karyawan kami per cabangnya 6 orang, dan guna menjaga kualitas pempek yang fresh maka kapasitas produksi per harinya kami sesuaikan agar tidak berlebih rata-rata 8-10 kilogram ikan,” ujar pengusaha sukses tersebut.
Sampai saat ini, Elsye mengaku bahwa kendala yang Ia hadapi adalah masalah SDM dan bahan baku seperti ikan tengiri yang segar, sagu yang bagus serta gula batok yang super. “Adapun cara menghadapi masalah SDM yaitu dengan cara memberikan reward yang setimpal dengan prestasinya. Misalkan pemberian fasilitas yang kecukupan dan memanusiakan karyawan,” kata Elsye.
Melihat perkembangan bisnisnya semakin pesat, tiada hentinya Elsye bersyukur. “Hanya rasa syukur tiada henti yang dapat kami ungkapkan disini, sejak dirintis hingga kini usaha keluarga ini dapat berkembang dengan baik. Untuk kedepannya masih mau menambah cabang lagi. Dan yang terpenting dapat menciptakan lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya,” ucapnya menutup sesi wawancara kami.
Tim Liputan BisnisUKM