Memutuskan terjun di bisnis sambal kemasan sejak 9 September 2015, Lina awalnya hanya menjual cabe cocol dalam kemasan botol kaca. Tak disangka-sangka cabe cocolnya laris manis dipasaran hingga Lina pun mencoba menambah varian rasa baru yakni cabe bajak di bulan Oktober 2015. Melihat respon pasar yang cukup bagus, berturut-turut ia pun membuat varian rasa baru meliputi cabe tumis ikan asin, sambal belacan (sambal terasi) dan terakhir ia membuat cabe siram pada Mei 2016.
Ditemui tim liputan BisnisUKM.com beberapa waktu yang lalu di kediamannya, Lina mengaku awal mula terjun ke bisnis kuliner sambal kemasan hanya untuk membantu teman yang belum mendapatkan pekerjaan. “Niat awalnya membantu teman yang belum dapat kerja dengan cara membuka lapangan kerja untuk mereka,” ungkap Lina.
Meski waktu pertama kali membuat sambal kemasan ia kesulitan memisahkan biji cabe dengan sambal karena belum memiliki mesin khusus, namun dalam sehari Lina bisa membuat maksimal 50 botol cabe siap makan dengan berbagai varian rasa. Setelah mempunyai mesin khusus untuk memproduksi samba
l kemasan, masalah yang muncul di awal usaha akhirnya dapat teratasi.
Baca Juga Artikel Ini :
Selama ini dengan bantuan tiga orang karyawannya, Lina menggunakan bahan baku cabe yang ia dapat dari petani di Pontianak dengan kualitas cabe yang masih segar. Berbeda dengan pengusaha lain yang bermain di level kepedasan cabe, Lina justru lebih mengandalkan varian rasa yang beragam. Karena baginya, tingkat kepedasan itu tidak ada standar tertentu, tapi berbeda-beda tergantung orang yang mencobanya.
“Bagi saya, mungkin tiga buah cabe sudah pedas. Tapi bagi orang lain, barangkali enam buah cabe masih kurang pedas,” ujarnya.
Lika – liku Kendala Usaha Sambal Kemasan
Beberapa waktu yang lalu, Lina mencoba membuat varian cabe petis ebi. Namun sayangnya, begitu dimasukkan ke dalam kemasan botol plastik, tiba-tiba sambal tersebut menguap. Ia menduga barangkali ada zat tertentu di dalam petis yang tidak bisa menyatu dengan udang Ebi sehingga menguap ketika dipadatkan ke dalam botol. Akhirnya ia meniadakan produk tersebut.
Selain kendala di atas, ia juga mengaku kesulitan mendapatkan SDM yang terampil serta belum memiliki toko. Sementara ini produknya dijual secara online dan di pameran yang rajin ia ikuti. Untuk pemesanan online minimum order dua botol cabe dan bebas memilih varian rasa yang diinginkan.
“Belum ada PIRT, sertifikat halal dari MUI dan sertifikat dari Balai POM RI juga menjadi salah satu kendala kami. Setelah lebaran nanti rencananya akan segera saya urus sekalian saya juga akan mengurus syarat untuk mendirikan CV,” ujarnya.
Citarasa Cabe Kak Lina Bebas Bahan Pengawet
Dengan tagline berbahasa Melayu Pontianak “Tejelar-Jelar Makannye”, citarasa cabe Kak Lina ini sudah disesuaikan dengan lidah orang Pontianak dan tidak mengandung bahan pengawet. Cabe Kak Lina terdiri dari dua kemasan. Kemasan dalam botol plastik untuk Cabe Tumis Ikan Asin, Cabe Siram, dan Cabe Bajak, sedangkan untuk Cabe Cocol dan Sambal Belacan dikemas dalam botol kaca.
“Kemasan memang sengaja saya bikin kecil agar cepat habis, karena tidak mengandung pengawet. Kalau teralu lama disimpan bisa basi,” kata Lina.
Cabe Kak Lina juga sering dibawa orang Pontianak yang bepergian ke luar negeri, dengan negara tujuan Jerman, Korea Selatan, China (Beijing, Shanghai) Perancis , Italia (Milan), Inggris, Jepang, Amerika Serikat ( New York) dan Australia (Perth). “Memang saya tujukan bagi orang Pontianak yang tinggal di luar, yang rindu akan rasa dan aroma sambal Pontianak yang khas,” ujar Lina.
Ke depan, Lina ingin bekerjasama dengan para reseller dan membuka kios kecil di tempat strategis. Cabe Kak Lina sudah dikirim ke berbagai kabupaten di Kalbar. Untuk luar Kalbar, Cabe Kak Lina dikirim rutin ke Bandung, Medan, Palembng, Jakarta, Manado, Makassar, dan Yogya.
BINGUNG CARI IDE BISNIS ?
Dapatkan Ratusan Ide Bisnis Dilengkapi Dengan Analisa Usaha.
Klik Disini
“Saya pernah mengirim untuk konsumen di Semarang dan Surabaya. Namun ditengah perjalanan, botol pecah dikarenakan terbanting saat dalam pengiriman. Akhirnya langsung saya ganti dengan cabe yang baru dengan rasa yang sama, dan saya bebaskan ongkos pengiriman,” ujar Lina.
Dengan harga jual mulai dari Rp 15.000 sampai Rp 40.000,00 per botol, setiap bulannya Lina bisa mengantongi omzet minimal Rp 8 juta – Rp 10 juta. “Khusus sambal kemasan varian belacan, proses produksi masih menggunakan tangan dengan diulek langsung. Jika ada event seperti ini, bisa tembus hingga Rp 15 juta selama event berlangsung,” tandasnya seraya mengakhiri perbincangan dengan BisnisUKM.
“Saya pernah mengirim untuk konsumen di Semarang dan Surabaya. Namun ditengah perjalanan, botol pecah dikarenakan terbanting saat dalam pengiriman. Akhirnya langsung saya ganti dengan cabe yang baru dengan rasa yang sama, dan saya bebaskan ongkos pengiriman,” ujar Lina.
Tim Liputan BisnisUKM
(/Vivi)
Kontributor BisnisUKM.com wilayah Kalimantan Barat