Majukan Sentra Industri Gerabah Bayat Lewat Olesan Warna dan Corak

Suharno tengah mengajari putri bungsunya
Suharno tengah mengajari putri bungsunya mewarnai gerabah yang sudah jadi. Teknik itu ia tularkan dengan harapan anaknya punya ilmu membuat gerabah warna.

KLATEN, JAWA TENGAH – Kerajinan gerabah kebanyakan kita temui berwarna tanah, coklat kemerahan. Kerajinan berbahan tanah liat tersebut, bisa saja berupa perabot rumah, seperti piring, gelas, bahkan dapat menjadi hiasan rumah layaknya guci dan vas bunga. Karena itu, kerajinan gerabah pun mengalami sebuah metamorfosa.

Berabad sebelumnya gerabah memang menjadi bahan utama membuat perabot. Namun, seiring perkembangan zaman, kemunculan perabot kaca dan keramik pun tak pelak menggeser keberadaan gerabah. Alih-alih hilang ditelan zaman, gerabah malah berganti peran, dari perabot menjadi perupa ruangan atau barang pajangan.

Teras rumah Suharno disulap menjadi etalase terbuka
Beginilah teras rumah Suharno yang ia sulap menjadi etalase terbuka. Jika masuk ke dalam, orang akan langsung lihat workshop miliknya.

Fungsi gerabah sebagai penyedap pandang membuatnya wajib tampil cantik dan menawan. Suharno, salah satu perajin gerabah dari sentra industri gerabah Desa Melikan, Bayat, Klaten, beruntung menyadari itu. Sudah sekitar satu dekade ini, ia ubah gerabah polos miliknya menjadi gerabah bercorak warna-warni.

Saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah Suharno, tepat di jantung Desa Melikan, mata sudah disuguhi jajaran rak penuh gerabah warna-warni. Suharno sengaja membuat etalase terbuka di teras rumahnya, agar orang melihat hal berbeda ketika berkunjung di desanya. Rumah sederhana itu pun disulap Harno menjadi workshop sekaligus showroom.

Tepat di depan jajaran rak penuh gerabah berwarna, tim BisnisUKM.com diterima Suharno. Di tempat duduk dari gerabah itu, ia bercerita tentang awal mula menyematkan warna pada kerajinannya. “Waktu itu industri gerabah di desa ini tengah stagnan, semua jalan di tempat, mungkin sekarang masih. Saya mencoba berpikir kira-kira apa yang dapat membuat kerajinan gerabah ini punya nilai lebih,” ungkapnya, Sabtu (12/11/2016).

Angkat Nilai Gerabah

Suharno kerap mencantumkan motif alam pada hasil karyanya
Suharno kerap mencantumkan motif alam pada hasil karyanya seperti bunga, tanaman, dan lainnya.

Benar saja, Suharno pun mulai menyedot perhatian banyak kalangan. Para pembeli, para seniman bahkan dosen perguruan tinggi pun berbondong datang dari kota ke kediamannya. Lebih dari itu, rumah Suharno sering jadi jujukan mahasiswa seni kriya mengadakan penelitian maupun praktek kerja.

Suharno tak lantas cepat puas. Saat para tetangga sibuk memenuhi pesanan, ia terus bereksperimen dengan berbagai macam jenis cat. Ia juga mencoba berbagai teknik pembakaran untuk menghasilkan kualitas gerabah nomor satu. Tujuannya tak lain mengangkat gerabah Melikan lebih tinggi dari Kasongan Jogja atau sentra gerabah lainnya.

Ada nilai lain yang didapat Suharno ketika berani tampil berbeda. Meski awalnya sukar diterima pembeli, akhirnya nilai jual gerabahnya pun meningkat drastis. Jika gerabah polos biasa dijual 5.000 perak, Suharno dapat menjualnya 15.000 hingga 20.000 rupiah.

Saat ini ribuan bentuk kerajinan gerabah sudah pernah dibuat Suharno. Ia pun menjual gerabahnya dengan harga yang bervariasi mulai dari belasan ribu hingga puluhan juta tergantung ukuran dan rumitnya pembuatan.

Wariskan Budaya Pendahulu

Teknik putar miring tetap dipertahankan
Selain melestarikan peninggalan pendahulu, teknik putar miring tetap dipertahankan Suharno karena dapat membuat hasil kerajian gerabahnya lebih presisi.

Suharno tetap menggunakan teknik putar miring yang sangat tersohor di sentra industri gerabah Desa Melikan, Bayat itu. Untuk pembatikkan, ia pakai cat tembok tertentu pada gerabah yang sudah jadi. Ia mendesain sendiri wadah kecap sebagai cantingnya. Semua dikerjakan secara manual hingga proses pengeringan dan penambahan glasir untuk membuat warna dan corak lebih terlihat.

Seperti mayoritas warga Desa Melikan, Suharno mengajarkan ilmunya kepada anggota keluarga. Bapak dua anak tersebut dibantu sang istri dan anak bungsunya untuk mengerjakan setiap pesanan.

“Sudah banyak anak muda yang memilih merantau ke kota besar dan meninggalkan kerajinan nenek moyangnya ini. Namun, saya berusaha keras membekali anak-anak dengan ilmu membuat gerabah. Itu sudah jadi kewajiban saya,” ungkap Suharno berkaca-kaca.

Teknik putar miring juga tetap digunakannya. Selain melestarikan teknik khas desanya, teknik tersebut juga membuat kerajinan gerabahnya lebih presisi. Ia bersyukur dianugerahi Desa Melikan, gerabah, teknik putar miring, dan tanah merah khas daerah Bayat. Ia anggap itu sebagai nikmat yang tak ternilai harganya.

Tim Liputan BisnisUKM

(/Rizki B. P)

Kontributor BisnisUKM.com wilayah Solo Raya