Membedah Sejarah Sentra Usaha Gerabah di Bayat

SOLO, JAWA TENGAH – Salah satu hal yang selalu kita ingat setiap mendengar kata Bayat adalah gerabah. Gerabah dan Bayat punya pertautan batin yang kuat. Hal itu berlangsung berabad-abad dan hingga sekarang gerabah punya pengaruh kuat dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten.

Ada banyak sekali cerita mengenai Kecamatan Bayat, paling banyak mengenai hal-hal spiritual. Sejarah gerabah juga tak jauh dari hal-hal spiritual. Sebagian besar masyarakat Bayat meyakini gerabah sudah ada di Bayat sejak ratusan tahun yang lalu.

Mbah Manto tengah membuat kerajinan gerabah
Mbah Manto tengah mempraktekkan membuat kerajinan gerabah dengan teknik putar miring. Teknik khas Bayat ini mampu membuat lekukan lebih kentara.

Kisah kerajinan gerabah Bayat tak jauh dari nama Ki Pandanaran atau yang disebut juga Ki Tembayat atau Pangeran Mangkubumi, yang merupakan tokoh penyebar Islam di Jawa selatan. Ki Pandanaran merupakan putra Ki Ageng Pandan Arang, bupati pertama Semarang.

Saat ia menggantikan ayahnya memimpin Semarang, Ki Pandanaran mulai melalaikan ajaran-ajaran Islam sehingga Sunan Kalijaga diutus untuk membimbingnya kembali. Atas saran Sunan Kalijaga, Ki Pandanaran melakukan perjalanan sampai ke wilayah yang sekarang Kecamatan Bayat.

Konon setibanya di Bayat ia diikut seorang perampok. Singkat cerita, setelah tahu bahwa yang dirampoknya Ki Pandanaran, si perampok memohon ampun dan bertobat. Si perampok diangkat menjadi murid dan diperintahkan membuat gentong air wudhu dengan bahan tanah merah khas Bayat. Itulah gerabah.

Naungan Ribuan Warga Bayat

Sentra usaha gerabah di Dukuh Pagerjurang, Melikan, Bayat
Sebuah plang sentra gerabah Dukuh Pagerjurang, Desa Melikan, Kecamatan Bayat menjadi pintu masuk. Sejauh satu kilometer mata akan disuguhi pemandangan kerajinan gerabah di kiri kanan jalan.

Selama berabad usaha kerajinan gerabah terus tumbuh di Kecamatan Bayat. Kini sentranya terletak di Desa Melikan. Ribuan warga di sana mewarisi kelihaian membuat kerajinan gerabah. Hampir seluruh warga menggantungkan hidupnya dari usaha kerajinan berbahan tanah liat tersebut.

Semua terbentuk alami, bahkan industrialisasi kerajinan gerabah itu sendiri. Rumah-rumah di gang-gang kecil di Desa Melikan selalu ramai dengan kegiatan membuat gerabah. Cerobong-cerobong besar ada dimana-mana. Sedang di ruas jalan utama, berjajar toko-toko yang menjajakan gerabah sebagai oleh-oleh.

Pembagian kerja tersebut berlangsung cukup lama. Satu dan lainnya saling menopang. Bahkan hampir semua warga selalu sibuk dengan pesanan. “Kalau ada pesanan ya bisa sampai larut malam, semua anggota keluarga membantu. Tapi kalau tengah sepi kita tetap membuat gerabah untuk mengisi waktu luang,” ungkap Mbah Manto, perajin yang usianya sudah kepala sembilan.

Dalam sehari rata-rata satu rumah di Desa Melikan menghasilkan ratusan kerajinan gerabah mulai dari piring, mangkok, gelas, vas bunga, guci, dan lain sebagainya. Harga yang ditawarkan terbilang cukup murah kisaran ribuan hingga jutaan tergantung bentuk, ukuran, dan warna.

Tanah Merah dan Teknik Putar Miring

Hampir seluruh warga Desa Melikan mampu membuat gerabah
Hampir seluruh warga Desa Melikan mampu membuat gerabah. Sayangnya, banyak anak muda di desa tersebut yang memilih merantau ke kota.

Selain berjalan sebagai industri, Bayat merupakan surga riset khusus gerabah dan keramik. Hal tersebut bukan tanpa alasan. Alasan pertama, Tuhan menganugerahi tanah merah di kecamatan tersebut yang menurut sifatnya relatif mudah dibentuk dan lebih kuat saat proses pembakaran.

Kedua, penemuan teknik putar miring yang menjadi kekhasan gerabah Bayat. Dengan teknik pembuatan manual tersebut, lekukan gerabah lebih kentara. Teknik putar miring juga memudahkan para perajin untuk membuat segala macam bentuk kerajinan.

Dua hal besar itu sempat menarik seorang profesor dari Jepang yang tinggal lama di Melikan. Lewat sang profesor berbagai riset ditemukan dan pusat penelitian gerabah di Melikan pun didirikan. “Saya banyak tanya ke pembeli, katanya kualitas gerabah di sini memang berbeda. Kalau bikinnya tak asal-asalan, bisa awet hingga puluhan tahun,” ungkap Dita, salah seorang penjual gerabah.

Pemerintah Kabupaten Klaten pun memberikan berbagai fasilitas guna membuat Desa Melikan, Bayat sebagai Desa Wisata Gerabah. Selain itu, sejumlah sekolah seni kriya juga didirikan di Bayat. Kecamatan di sisi selatan kabupaten tersebut akan seketika ramai saat lebaran. Diakui para perajin, omzet mereka bisa meningkat dua kali lipat saat libur lebaran.

Tim Liputan BisnisUKM

(/Rizki B. P)

Kontributor BisnisUKM.com wilayah Solo Raya