MENGENAL JAMUR KARENA GEMPA

Ketekunan dan kesabaran menjadi kunci bagi Bapak Haryanto (44) menjalankan usaha pembibitan dan budidaya jamur tiram di pekarangan rumahnya. Kendati baru pada awal tahun 2011 menekuni usaha tersebut, namun berbekal pengalamannya ‘bergelut’ dengan LSM yang menaungi para petani jamur, Pak Haryanto saat ini mampu memproduksi 300 baglog/ hari dan 200 kg jamur tiram segar/ bulan. Di rumahnya Tegalsari Minggir Sleman, Pak Haryanto setiap hari rutin memproduksi media tanam (baglog) jamur tiram dengan dibantu 6 orang tenaga produksinya.

Pak Haryanto mengenal jamur karena gempa. Hal ini bermula ketika terjadinya gempa bumi Bantul tahun 2006 silam. Saat itu, beliau dan LSM nya (Komunitas Desa Mandiri) mendirikan Pusat Sterilisasi Jamur di Tlobong Panjangrejo Pundong Bantul. “Kenapa kami (LSM) waktu itu memilih budidaya jamur, karena lebih ekonomis, mudah, dan cepat panennya,” terang Pak Haryanto kepada tim liputan bisnisUKM Kamis (28/7). Setelah melakukan pendampingan kepada korban gempa, tahun 2007 sampai dengan 2010, alumni Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tersebut lebih aktif menjadi pengisi pelatihan dan mensosialisasikan jamur di berbagai tempat. Beliau berharap agar jamur bisa menjadi makanan pengganti daging dan tingkat konsumsinya setara dengan tahu dan tempe.

Kumbung Jamur TiramAtas dasar pengalamannya itulah, Pak Haryanto berinisiatif untuk memiliki dan mengembangkan produksi jamur sendiri di rumahnya. Untuk memperdalam ilmunya, beliau bahkan mengambil kursus budidaya jamur di Institut Pertanian Bogor (IPB). Alhasil, saat ini beliau mampu merealisasikan ilmunya itu dengan memiliki usaha pembibitan dan budidaya jamur tiram. “Saya lebih fokus ke jamur tiram saat ini, karena jamur tiram memiliki nutrisi lebih banyak dibandingkan dengan jamur lainnya, namun tidak menutup kemungkinan untuk mengembangkan ke jamur-jamur lainnya,” ujarnya.

Dengan peralatan yang tergolong sederhana, Pak Haryanto secara rutin memproduksi 300 baglog/ hari. “Saat ini kami masih terkendala di sistem produksi karena menggunakan mesin manual dan peralatan lain yang masih sederhana, namun itu bukan menjadi penghalang berarti,” tambah Pak Haryanto. Untuk bahan baku produksi, Pak Haryanto mengaku memperolehnya dari wilayah sekitar Minggir Sleman, sementara untuk serbuk gergaji dibelinya dari Wonosobo Jateng. Baglog-baglog tersebut kemudian dipasarkan hingga ke Jakarta, Bogor, Bali, dan Bengkulu dengan harga Rp.1.300,00/baglog. Menurutnya, dengan kapasitas produksi yang masih tergolong kecil, Pak Haryanto belum bisa memenuhi semua permintaan baglognya yang semakin meningkat.

Strategi Pemasaran Jamur Tiram

Bapak HaryantoSementara untuk produksi budidayanya, pria yang pernah menjadi pengajar IPS di sebuah sekolah swasta tersebut memasarkannya di pasar tradisional dan beberapa swalayan di Yogyakarta. Jamur tiram segar yang dikenal tidak tahan lama membuat Pak Haryanto harus telaten dalam menanganinya. “Setiap hari saya bangun jam 1 dini hari untuk memanen jamur tiram, setelah itu kami kemas, dan langsung diantarkan ke pasar-pasar,” ujarnya. Menurut Pak Haryanto, salah satu kendala dalam memasarkan jamur tiram segar miliknya adalah meyakinkan para pedagang di pasar tradisional. Tidak bisa dipungkiri lagi, usaha budidaya jamur dewasa ini semakin banyak ‘pemainnya’, sehingga persaingan harga diantara mereka juga semakin ketat. Oleh karena itu, menurut Pak Haryanto, dibutuhkan perjuangan,  keuletan, dan kejujuran untuk meyakinkan para pedagang di pasar tradisional supaya bisa menerima dan menampung jamur tiram segar.

Bagi Pak Haryanto, meskipun persaingan dalam usaha tersebut sangat ketat, namun beliau tidak pernah menganggap petani lain sebagai pesaing. “Justru itu harapan saya, yaitu jamur dapat memasyarakat dan berkembang luas, kondisi tersebut pastinya harus didukung dengan banyaknya produsen (petani) yang terlibat di dalamnya,” jelasnya. Sehingga Pak Haryanto menganggap para petani lain sebagai seorang mitra yang bersama-sama memajukan dan mengembangkan jamur agar lebih memasyarakat dan bermanfaat.

Tim liputan bisnisUKM

One comment

  1. Saya sudah pernah mengikuti diklat jamur tiram,,,tp rasanya kurang komplit,kalau boleh tolong di ajarkan,,karena menurut saya usaha ini masih mempunyai peluang yang sangat besar,,,dan saya sangat mendukung usaha ini.

Comments are closed.