Menjalankan Bisnis Keripik Buah Khas Sleman

Bukan menjadi rahasia lagi jika Kabupaten Sleman DIY dikenal sebagai penghasil salak pondoh yang memiliki karakteristik khas dibanding salak dari daerah lainnya. Sebagai komoditas unggulan Sleman, salak pondoh telah mengantongi sertifikasi HAKI dari Dirjen HKI Kementrian Hukum dan HAM. Besarnya potensi yang dimiliki salak pondoh membuat banyak pihak berlomba-lomba untuk mengembangkannya menjadi berbagai jenis varian produk yang berkualitas.

Meskipun sebagian besar dipasarkan dalam bentuk buah segar, namun tidak sedikit pula pihak yang membuat inovasi produk berbahan baku salak hingga memiliki nilai jual tinggi. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh Sudirman Yanto (43), yang mengolah salak pondoh asli Sleman menjadi keripik buah yang renyah dan bercita rasa khas. Lelaki asal Pangkal Pinang Bangka tersebut berminat mengolah salak pondoh menjadi keripik karena kualitas dan potensinya yang sangat besar untuk dikembangkan.

Sudirman Yanto“Salak pondoh Sleman memiliki kualitas yang tidak dimiliki daerah lainnya, ketika musim panen tiba jumlahnya bisa sangat melimpah, dan sayang kalau tidak dimanfaatkan, karena harganya terkadang tidak menentu di pasaran (ketika dijual dalam bentuk buah segar), sehingga saya berfikir untuk mengolahnya menjadi sebuah produk yang memiliki nilai tambah, terutama dari segi keawetan produk,” jelas Yanto ketika ditemui tim liputan bisnisUKM di rumahnya Turi Sleman.

Bekerjasama dengan adiknya yang lebih dahulu memiliki ide untuk mengembangkan bisnis keripik salak, mereka mencoba memulai usaha tersebut dengan melakukan serangkain trial error. “Saat itu saya mencoba dengan mesin vacuum frying dengan kapasitas 5 kg, tidak langsung berhasil memang, bahkan saya mencobanya dengan menggunakan berbagai jenis buah-buahan, untuk mengetahui buah mana yang paling enak ketika diproduksi menjadi keripik,” lanjutnya.

Dari proses ujicobanya tersebut, Yanto menilai jika salak pondoh dan nangka menjadi dua buah yang memiliki hasil akhir paling baik. “Keduanya memiliki struktur dan kerenyahan yang pas, alhasil keduanya menjadi pilihan kami ketika itu untuk dikembangkan sebagai sebuah bisnis,” terang Yanto. Mengusung keripik khatulistiwa sebagai brand/ merknya, yanto mulai bergerilya memperkenalkan dan memasarkan produknya tersebut ke masyarakat. Hasilnya, keripik khatulistiwa mendapatkan respon yang positif karena memiliki cita rasa yang khas.

keripik salak khatulistiwaMenggunakan aluminium foil sebagai kemasan produknya, keripik buah khatulistiwa mulai memenuhi rak/ etalase di berbagai toko oleh-oleh yang ada di seputaran Yogyakarta. Kondisi tersebut terus berkembang hingga ke saat ini sudah tersebar di hampir seluruh wilayah di Indonesia. “Untuk konsumen yang berasal dari luar (wilayah Jogja) biasanya karena efek pemasaran online yang kami jalankan, sementara untuk lokal Jogja kami ada marketing sendiri,” jelasnya.

Jejaring sosial dan beberapa portal iklan di situs online disasar anak pertama dari 5 (lima) bersaudara tersebut sebagai media pemasarannya. Dari situ pula dirinya memperoleh konsumen dari berbagai penjuru tanah air. “Sejauh ini kami sudah melayani konsumen dari Aceh sampai dengan wilayah di Papua, mereka kebanyakan penasaran dengan citarasa produk kami,” lanjutnya.

Info Produk

Keripik buah khatulistiwa (nangka dan salak) tersedia dalam beberapa ukuran kemasan. “Saat ini kita punya beberapa pilihan kemasan, yakni 51 g, 101 g, 201 g, 501 g, dan curah, kenapa disini kita menambahkan 1 g, itu sebagai bentuk sedekah kami,” ujar Yanto sembari tertawa. Dalam sehari, Yanto mengaku bisa memproduksi 50 kg keripik dengan 6 (enam) kali penggorengan.

“Penyusutan yang terjadi dalam proses penggorengan bisa mencapai 50%, misalnya 10 kg bahan baku salak ketika dikupas menjadi 5 kg daging salak, dan setelah digoreng hasilnya 1 kg keripik,” terang Yanto yang kini juga disibukkan juga dengan aktivitas studi di Magister Hukum (Bisnis) UGM. Dibantu lebih dari 14 orang tenaga produksi, Yanto memiliki strategi dalam mensiasati bahan baku salak yang tidak berbuah di sepanjang tahun.

Strategi Produksi

“Selama ini kami selalu produksi dalam jumlah besar ketika musim panen tiba, hal demikian sebagai strategi terjadinya kelangkaan bahan baku (salak) yang memang tidak berbuah sepanjang tahun, tetapi jangan khawatir karena keripik ini memiliki masa kadaluarsa yang panjang,” jelas mantan karyawan bank swasta tersebut. Lokasi produksi yang dekat dengan sentra perkebunan salak menjadi keuntungan tersendiri bagi Yanto dalam mengembangkan usahanya. Tetapi dengan berkembangnya jaman, tidak sedikit kebun salak yang berada di lereng Gunung Merapi Jogja yang berubah menjadi pemukiman.

produk keripik buah khatulistiwaKondisi demikian jauh-jauh hari sudah menjadi bahan pemikiran dari Yanto dan manajemen Khatulistiwa dengan memiliki kebun salak sendiri. “Arahan ke situ ada (kebun salak), tetapi memang bertahap, untuk saat ini selain fokus produksi kami juga mulai melakukan pengembangan dalam hal kemasan,” lanjutnya. Kemasan yang ada sekarang menurut Yanto belum begitu pas ketika harus bersaing dengan produk-produk impor, seperti dari Thailand dan Cina.

“Ke depan kami berharap produk ini bisa bersaing di tingkat internasional, atau dalam artian bisa kami ekspor, namun sebelum ke arah itu kami harus melakukan evaluasi terutama dalam hal kemasan,” kata pria yang hobi jogging tersebut.

Ketika ditanya apa yang menjadi kunci suksesnya dalam menjalankan usaha keripik tersebut, tanpa ragu Yanto menyebut keyakinan dan kemauanlah yang menjadi faktor penentunya. Dengan yakin, dirinya bisa melakukan segala sesuatunya dengan enjoy dan sesuai dengan jalurnya. Salam sukses!

Tim liputan bisnisUKM