Gimana mau bersaing dengan produk asing jika pelaku industri dalam negeri masih menyepelekan masalah bungkus atau desain kemasan produk yang mereka gunakan. Padahal jika ditelaah lebih lanjut, kemasan produk menjadi satu komponen penting untuk menciptakan kesan pertama yang memikat di hati setiap konsumen.
Hal ini sangat disayangkan oleh Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya yang ditemui ketika membuka acara BUMN Branding and Marketing 2016 di Hotel Pullman, Jakarta, Rabu (23/11).
“Banyak CEO kita tidak merasa branding itu investing,” katanya dikutip dari Indopos.co.id.
Tak bisa dibayangkan bagaimana caranya menjual suatu produk tanpa kemasan, pasti pembeli juga akan berpikir berulang kali untuk membeli barang tersebut. Artinya, percuma jika UKM menciptakan sebuah produk dengan kualitas unggulan namun tidak memiliki brand.
Arief mengambil contoh, jika produk tanpa brand dijual bersama produk serupa lainnya yang sudah dibranding, maka yang akan dipilih konsumen adalah produk yang tampilannya terlihat menarik dan dilengkapi dengan info produk di kemasan tersebut. “Kita punya produk yang lebih bagus tapi tidak di-branding, maka tidak akan laku,” tuturnya.
Jelas ini akan merugikan pelaku UKM, mengingat Indonesia punya potensi besar sebagai negara yang menghasilkan produk kelas dunia. Arief sendiri mendesak UKM untuk mendapat dorongan investasi dalam hal branding agar produk unggulan Indonesia bisa meningkat daya saingnya setelah memiliki tampilan desain kemasan produk menarik, baik meliputi logo, iklan dan lainnya yang bisa memaksimalisasi tingkat penjualan.
Percuma, kata mantan Dirut Telkomsel itu, jika memiliki produk bagus dan kompetitif namun tak bisa menjual. Nah, belajar dari kekurangan ini Arief mengajak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan pihak swasta menyikapi serius persoalan branding. Caranya dengan berinvestasi ke dalam sektor tersebut untuk menunjang eksistensi produk mereka di mata produsen, sehingga ada nilai balik atau return value kepada perusahaan.
Berdasarkan hitungan Arief, setidaknya harus ada 2 persen dari total pendapatan BUMN maupun swasta untuk mempromosikan produk mereka. “Jadi angka cepat untuk biaya promosi. Misal pendapatan kita Rp 100 juta, ya berarti Rp 2 juta untuk program promosi,” kata Arief.
Diharapkan langkah strategis ini bisa mendorong daya jual produk pada konsumen. Jika tidak, maka pasti perusahaan sukar menjual produknya ke masyarakat. Dari branding, masyarakat mendapat edukasi tentang produk yang mereka akan atau telah beli.
Brand image yang dipaparkan melalui program branding bisa menjadi alasan kuat bagi konsumen untuk membeli produk, baik barang maupun jasa. “Maka brand itu adalah janji produk kepada customer-nya, dan bila direalisasikan maka akan menjadi reputasi,” demikian Arief.
Sumber