SOLO, JAWA TENGAH – Deferensiasi rupanya penting bagi usaha rumah batik Bule Bule yang dirintis Wahyu Janawi Jaya. Bagaimana tidak? Modal pembeda itulah yang membuat usaha batik perca hasil produksinya menuai omzet hingga ratusan juta.
Satu baju batik rancangan Wahyu, dibandrol harga sekitar 350 ribu hingga jutaan rupiah. Padahal ia hanya menggunakan bahan dari kain perca alias limbah kain batik. Sulitnya pengerjaan, membuat karya rumah batik Bule Bule itu sepantasnya diminati, meski perlu kocek yang tak sedikit.
Awalnya, Wahyu mengumpulkan kain perca batik dari puluhan toko batik yang ada di Solo. Ia pun memilah corak dan warna kain perca yang sesuai dengan rancangan desainnya. Proses pemilahan itu termasuk proses yang paling lama.
Setelah proses sortir, ia bawa kain perca tersebut disusun kembali sesuai pola. Jahitan kain kemudian dirapikan dan dipotong ujungnya. Baru setelah itu, kain itu dijahit menempel pada kain dasar hingga menjadi baju batik baru. Kadang prosesnya tak hanya sampai di situ. Wahyu mesti menambahkan kain atau ornamen lain, sebagai penyempurna rancangannya.
Selain membuat rancangan sendiri, Wahyu juga mengerjakan pesanan dari toko batik lain. Semuanya dikerjakan di showroom dan workshop Bule Bule, di Bibis Wetan, Banjarsari, Solo. Ada sekitar 30 karyawan yang membantunya menyelesaikan ribuan pesanan dalam sebulan, baik untuk Bule Bule maupun pesanan toko batik lain.
“Alhamdulillah, omzet kadang bisa ratusan juta sebulan. Tapi tidak tentu, kadang sepi, kadang ramai. Bersyukur lagi, di Solo ada banyak sekali toko batik. Beberapa dari mereka sering ndandake (memperbaiki.red)limbah mereka agar jadi barang lagi,” kata Wahyu tersenyum.
Dari Amerika, Hingga Pasar Lokal
Wahyu mengamini bahwa rancangan yang hebat tak akan berhasil tanpa pemilihan pasar yang tepat. Ia sempat menjajal pasar luar negeri, puluhan tahun lalu. Ia mengirim semua baju rancangannya ke Amerika Serikat.
Wahyu beranggapan, penghargaan atas baju bernilai seni, jauh lebih bagus di Amerika. Dan benar, pesanan pun datang melimpah. Bahkan waktu itu Wahyu musti menggaji sekitar 150 orang karyawannya untuk menyelesaikan pesanan dalam sebulan.
Seperti kata pepatah, semakin tinggi pohon, semakin kencang anginnya. Tahun 2001, Wahyu mendadak tertunduk lesu, tatkala tragedi 11 September atau pemboman gedung World Trade Center terjadi. Praktis setelah kejadian itu, pesanan tak lagi datang. Wahyu pun terpaksa memberhentikan sejumlah karyawannya, karena masalah finansial.
“Itu (Tragedi 11 September.red) kejadian yang tak hanya berimbas pada masyarakat AS. Kami yang di Indonesia pun terkena. Tak tahu kenapa, klien kami yang ada di sana, stop memesan baju batik kain perca,” kenangnya kepada tim BisnisUKM.com, Senin (10/10/2016).
Baca Juga Artikel Ini :
Wahyu pun akhirnya memilih menyibak pasar dalam negeri. Sejak saat itu pula, ia mulai menerima jasa “menyulap” kain perca menjadi barang jadi seperti wadah tisu, dompet, dan lainnya. Perlahan lahan, ia pun menemukan pasarnya kembali. Ditanya soal keinginan menembus pasar luar negeri lagi, Wahyu mengatakan masih ingin tapi perlu lebih hati-hati.
Puaskan Pelanggan Jadi yang Terpenting
Wahyu merasa sudah kenyang dengan usahanya. Sudah 20 tahun lebih ia berkutat dengan desain baju dan mode batik. Ambisinya pun tak semuluk dulu. Kini yang terpenting baginya adalah kepuasan para pelanggan, entah pemesan baju batik perca, maupun toko batik yang menggunakan jasanya.
Saat ini pun, Wahyu tinggal mendesain dan melakukan finishing. Proses lainnya ia percayakan pada karyawan-karyawannya. “Sembari saya ajarkan kepada teman-teman karyawan, baik teknis maupun pengalaman saya. Harapannya agar mereka jauh lebih melampaui saya kelak,” pungkasnya.
Tim Liputan BisnisUKM
(/Rizki B. P)
Kontributor BisnisUKM.com wilayah Solo Raya