SOLO, JAWA TENGAH – Sudah sangat lama Kampung Gandekan, Kecamatan Jebres, Solo, terkenal sebagai pusatnya usaha sandal selop. Dahulu, setiap orang yang mencari sandal selop berkualitas, mereka datang ke Kampung Gandekan. Sayangnya, lain lubuk lain belalang, lain dulu lain sekarang, kini tinggal segelintir warga yang bertahan sebagai perajin sandal selop.
Setengah abad yang lalu, satu produsen di kampung ini mampu menggaji 30 hingga 50 karyawan. Produksi pun tembus ratusan pasang sandal dalam sehari. Bahan baku kulit sapi sangat mudah ditemukan karena sekitar Kampung Gandekan merupakan pusat penyembelihan hewan termasuk sapi dan lembu.
Secara geografis, Kampung Gandekan sangat strategis untuk berdagang. Kampung ini berada tepat di pinggir sungai Pepe yang dulunya dipakai sebagai jalur transportasi para saudagar menuju Pasar Gede Harjonagoro. Letak kampung sebagai jalur perlintasan itu pun ditangkap warga sebagai peluang. Warga mulai menjual dan menitipkan produk-produk rumahan termasuk sandal selop. Dan setengah abad yang lalu produk sandal selop direspon bagus oleh pasar hingga Gandekan berkembang sebagai pusatnya sandal selop.
Menurut salah satu perajin, Budi, lambat laun industry fashion pun berkembang dan sandal kulit mulai ditinggalkan. Setali tiga uang, bahan baku mulai sulit ditemukan. Para perajin mulai mendapat saingan dari industry besar yang memproduksi fashion secara massal.
“Merk-merk luar negeri juga menggerus pasar sandal selop Gandekan. Dan tepatnya setelah krismon 1998, produsen sandal selop di sini mulai menutup usahanya,” kenang Budi.
Bertahan dengan Inovasi
Selain Budi, ada beberapa perajin lain yang memilih bertahan. Namun jumlah mereka dapat dihitung jari. Dulu ada puluhan produsen sandal selop, namun kini tinggal beberapa saja. Mereka yang bertahan, diakui Budi, harus terus berinovasi baik inovasi produk maupun strategi pemasaran. Rata-rata perajin sandal selop di Gandekan tak hanya membuat sandal dari bahan kulit lembu saja, namun juga bahan lain seperti spon, koten, ataupun vinyl polymer.
Perajin lain, Agus, mengaku tak lantas meninggalkan pesanan sandal selop dari kulit. Agus tetap memenuhi pesanan, bahkan itu dijadikan spesialisasinya. “Memang jumlah pesanan sandal dari kulit jumlahnya lebih sedikit. Namun saya kerjakan dengan sangat rapi sehingga pembeli datang kembali,” ungkapnya.
Para perajin juga mulai mempelajari perkembangan dunia mode. Kini mereka tak lagi hanya mengandalkan produksi sandal selop tetapi juga sandal japit dengan berbagai model. Model mereka bahkan terus berkembangan mengikuti zaman. Tak jarang dari mereka yang melakukan survei pasar atau mencari tahu mode lewat online.
Bermodal Keahlian
Meski usaha mereka pasang surut, nyatanya masih ada perajin yang bertahan dan berani melihat pasar yang lebih luas. Perajin sandal selop di Gandekan Tengen, Andi, mengaku rata-rata mampu menghasilkan empat hingga lima kodi sandal setiap hari. Ia mengirimnya ke sejumlah kota besar seperti Yogyakarta dan Jakarta.
Selain memang sudah menjadi pencahariannya, Andi mengaku bangga menjadi perajin sandal selop di Gandekan. Ia merasa mendapat hadiah tak ternilai dari pendahulunya yakni keahlian dan pengetahuan tentang rantai produksi sandal selop. Hampir semua produsen sandal selop yang bertahan meneruskan usaha pendahulunya.
Menurut Andi, para produsen harus mengembangkan ilmu dan menyesuaikan dengan pasar dan tren yang berkembang. Ditanya soal harapan, Agus mengungkapkan sama seperti yang lain, ingin belajar lebih banyak mengenai mode dan fashion khususnya alas kaki. “Kalau harapan besarnya ya, semoga Gandekan bisa terkenal sebagai pusatnya sandal selop seperti dulu kala,” tutupnya sambil tersenyum.
Tim Liputan BisnisUKM
(/Rizki B. P)
Kontributor BisnisUKM.com wilayah Solo Raya