Salah seorang yang menggeluti kerajinan unik ini yakni Anthony IAS (40). Sekitar lima tahun yang lalu dia memroduksi perhiasan dari biji-bijian dan kayu berkualitas. Produk handmade dengan teknik tali-menali ini diolah natural sehingga bioenergi yang terkandung bermanfaat bagi pemakainya.
“Berkarya dan berusaha di bidang kerajinan tangan ini bisa menjadi tumpuan ekonomi. Saya sendiri, dalam sebulan rata-rata mendapatkan omset sekitar Rp20-30 juta. Kalau apes paling dapet Rp5 juta,” kata Anthony saat gelaran International Learning Exchange di plaza Balai Kota Bandung, Selasa (15/11/2016).
Produk brand Bumi Putih Spiritual Jewelry yang menjadi bengkelnya ini dikenal hingga Cina, Taiwan, Jepang, Singapura, dan Malaysia. Bahkan, di negeri jiran Malaysia dia sempat mengikuti pameran.
Mengenai bahan baku perhiasan yang dibuatnya ini relatif melimpah. Dia hanya menggunakan beraneka macam biji keras. Mulai dari biji ganitri sebagai bahan utama, kelapa ratu, hanjeli, kelapa sawit, hingga jenis palem-paleman lainnya. Selain itu, dia menggunakan manik kayu istimewa yang di-mix untuk mendapatkan nilai tambah.
Dikarenakan perhiasan yang dibuatnya menggunakan teknik tali-memali yang unik, dia hanya membutuhkan tali nylon yang di pasar tersedia banyak. Terkait harga jual, aksesoris natural ini dibanderol mulai dari Rp30 ribu. Harga itu untuk sebuah gelang. Sedangkan, harga tertinggi bahkan mencapai puluhan juta.
“Saya pernah ada membuat custom untuk pelanggan seharga Rp8 juta. Harga ini untuk satu set perhiasan,” tambahnya.
Tak hanya menciptakan aksesoris biasa, Anthony pun membuat masterpiece. Bahkan, diantaranya terjual dengan harga jutaan hanya untuk seuntai kalung yang dirangkai dengai sistem simpul temali. Ada satu karya yang bernilai fantastis. Itu berupa kalung yang disimpul secara kompleks. Karya itu diberi nama Sang Ratu. Untuk kalung tersebut diakuinya sudah ada orang yang berani menawar seharga Rp15 juta.
Saking istimewanya, proses dan material yang digunakan untuk kalung ini tercatat rapi. Lamanya pembuatan kalung itu membutuhkan waktu dua pekan. Untuk menciptakan karya ini dikerjakan secara manual dan tanpa menggunakan bahan kimia serta mendapatkan bantuan dari semut. Kalung Sang Ratu ini terdiri dari 57 biji ganitri, 11 kelapa ratu, 220 biji ganyol, 1 biji kemiri yang diukir menyerupai bunga mawar dan batok kelapa yang dibentuk serta diukir menyerupai lingkaran pelindung.
Lebih jauh dia mengaku ceruk pasar domestik untuk handycraft ini tertinggi ada di Jakarta. Di ibu kota negara itu hampir 50% barang dagangannya diminati. Sedangkan, daerah lain seperti Bandung, Solo, Semarang, Yogyakarta, dan Bali masing-masing sekitar 10%.
“Nggak cuma melayani pasar offline. Saat ini pun kita menggarap pasar online yang mulai merebak,” ucapnya.
Senada dengan itu, brand Awie Bah Akim pun dikenal di pasar mancanegara. Bagian Pemasaran Susi Ratnaningsih mengaku produk bambu buatannya kini memiliki pelanggan dari Amerika Serikat. Namun, pasar dari Taiwan, Spanyol, dan Italia itu merupakan konsumen hand-carry. Artinya, mereka membeli dengan cara mengunjungi langsung ke tempat pembuatan.
“Produk yang kita buat ini beraneka macam instrumen musik yang berasal dari bambu. Ada kendang bambu atau baragbag, gitar bambu, toleat, goong awi, keprak, dan alat musik bambu lainnya,” ucap Susi di lokasi yang sama.
Meski demikian, sejauh ini Asosiasi Meubel dan Kerajinan Indonesia (Amkri) Bandung-Priangan memiliki keyakinannya sendiri. Meski masih menggarap pasar domestik, nilai ekonomi barang bikinannya pasti dicari orang.
Ketua Amkri Bandung-Priangan Elina Farida menyebutkan dari 67 anggota itu kebanyakan menggarap kebutuhan pasar dalam negeri. Kalau pun ada yang menembus pasar ekspor, itu karena si produsen memiliki pabrikasi mumpuni.
“Kita memang masih menggarap serius pasar domestik. Angkanya, 90:10 lebih banyak untuk pasar domestik,” kata Elina, saat ditemui di studio keramik miliknya, Jalan Taman Pramuka, Kota Bandung.
Dia menjelaskan, biasanya buyer untuk pasar ekspor itu menawarkan harga relatif rendah. Belum lagi, mereka menginginkan produk dibuat massal. Dengan kuantitas banyak itu, Elina mengaku anggotanya tidak mampu membuat barang dalam jumlah banyak.
“Di Bandung-Priangan ini, barang yang dihasilkan sudah tersentuh desain, dan memang kita kuat di desain. Jadi memang nggak bisa buat banyak. Beda dengan Amkri di daerah lain,” sebutnya.
Dikarenakan barang bikinan itu dibanderol relatif mahal, kebanyakan mereka yang menembus pasar mancanegara itu hanya untuk kebutuhan kolektor. Barang yang dihasilkan terbilang unik, inovatif, dan tidak dibuat massal.
Menurutnya, dari 67 anggota itu mereka tergolong produsen/pelaku meubel dan kerajinan. Mayoritas, mereka bergerak di bidang kerajinan home decoration. Anggotanya, tergolong seniman dan desainer yang idealis membuay karya.
“Itulah yang membedakan kita dengan Amkri di daerah lain. Dibandingkan dengan Jawa, di kita pelaku meubel itu jarang. Kebanyakan produk yang dihasilkan merupakan hasil industri kreatif dan eksklusif,” jelas Elina yang fokus dalam pembuatan kerajinan keramik.
SUMBER