sudah-jatuh-tempo-pp-jaminan-halal-belum-diterbitkan

Sudah Jatuh Tempo, PP Jaminan Halal Belum Diterbitkan

sudah-jatuh-tempo-pp-jaminan-halal-belum-diterbitkan

Masyarakat Indonesia tentu ingin mendapatkan jaminan kepastian produk yang mereka konsumsi. Selain agar menjamin kesehatan, hukum syariahnya pun diharapkan sudah terlaksana. Kaum Muslim dimana pun tentu nyaman dengan produk berlabel halal. Berdirinya LPPOM MUI pun merupakan wujud interpretasi kesadaran kaum Muslimin dalam memberikan perlindungan tentang produk halal.

Namun, hingga saat ini pemerintah Indonesia masih belum menerbitkan PP untuk UU Jaminan Produk Halal (JPH). Sejak diloloskan menjadi RUU JPH 19 September 2014, PP JPH belum diterbitkan sampai jatuh tempo pada (17/10/2016). Keterlambatan penerbitan aturan perundang-undangan ini membuat sejumlah pihak merasa tidak puas dengan kinerja pemerintah.

Wakil Ketua Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Osmena Gunawan menekankan tanggung jawab yang dimiliki pemerintah. Tanggung jawab itu terkait Peraturan Pemerintah untuk UU JPH, yang sampai sekarang masih belum diterbitkan.

“Hal ini sudah diamanahkan kepada pemerintah. Maka dari itu, pemerintah harus bertanggung jawab menerbitkan itu. Kita sudah tertinggal dari negara lain yang telah lama mempunyai undang-undang jaminan produk halal,” katanya beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut, ia berpendapat belum diterbitkannya peraturan pelaksana UU JPH sampai jatuh tempo, menunjukkan bahwa tidak mudah melakukan sebuah langkah di dalam sertifikasi halal. Hal ini tentu berefek ke belum bergeraknya UU Jaminan Produk Halal. Meski menyayangkan PP dari UU JPH yang belum juga diterbitkan. Namun, ia menekankan LPPOM MUI tetap tidak bisa mendesak pemerintah, untuk menerbitkan PP dari UU JPH.

“Kita tetap tidak bisa memaksa atau mendesak pemerintah. Namun, kita juga harus berupaya supaya tidak banyak yang dirugikan dengan lambatnya penerbitan aturan perundang-undangan ini,” paparnya.

Osmena merasa PP untuk UU JPH itu memang bukan sesuatu yang mudah diterbitkan, karena salah satu langkah saja bisa jadi bumerang. Terlebih, saat ini sertifikasi halal di MUI sudah dilaksanakan lewat sistem daring (online), jadi akan menyulitkan pengusaha jika diubah.

Tapi, ia mengingatkan kalau UU Jaminan Produk Halal memiliki tujuan untuk meringankan masyarakat mendapatkan produk halal. Karenanya, jangan sampai desakan untuk membuat PP untuk UU JPH membuat langkah-langkah yang salah, atau menghilangkan makna halal itu.

Padahal, lanjut Osmena, perusahaan-perusahaan sudah diberikan kewajiban memiliki dan mengurus sertifikasi halal, terutama satu tahun terakhir. Namun, ia menekankan LPPOM MUI akan tetap berjalan seperti biasa terkait sertifikasi halal, tidak akan terpengaruh ada tidaknya PP dari UU JPH.

Ia menambahkan, sertifikasi halal yang diterbitkan LPPPOM MUI juga telah digunakan banyak lapisan masyarakat, baiki produsen maupun konsumen. Karenanya, ia menegaskan proses sertifikasi yang dilakukan LPPPOM MUI tetap akan berjalan normal, baik untuk barang maupun jasa. “Meski belum terbit, proses sertifikasi halal ini akan tetap berlanjut,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch, Ikhsan Abdullah mengatakan, pemerintah harus lebih serius menangani permasalahan UU JPH ini. Padahal, UU JPH mengamanatkan dibentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Badan tersebut nantinya yang melakukan sistem Jaminan Produk Halal. “Bagaimana juga nanti dibentuk BPJPH kalau peraturan pelaksananya saja tidak ada,” ujarnya.

Menurutnya, UU JPH sulit untuk dilaksanakan. Sementara, UU JPH mengatur sertifikasi halal. Artinya, UU sudah mengatur secara hukum bahwa 2016 itu batas akhir dimana semua produk dan jasa yang beredar di masyarakat wajib bersertifikasi halal.

Ia menegaskan, dalam waktu dua tahun untuk mempersiapkan pelaksanan UU JPH apakah mungkin. Sementara BPJPH saja belum ada. Di lapangan jumlah pelaku usaha industri, industri kelas menengah dan UKM itu jutaan. Mereka diwajibkan semua untuk memiliki sertifikiasi halal. “Ini tantangan yang besar yang harus dihadapi dengan cara menerbikan ketentuannya pelaksanaannya dan membentuk badan yang diamanatkan UU,” jelasnya.

Selain itu, Kasubdit Produk Halal Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama (Kemenag) Siti Aminah menjelaskan, draf Peraturan Pemerintah (PP) JPH sudah selesai dan sudah dibahas dari awal sampai akhir oleh kementerian dan lembaga terkait.

“Semua kementerian dan lembaga sudah sepakat sehingga draf tinggal difinalisasi, termasuk Kementerian Kesehatan. Hanya tinggal disisir mana yang belum rapi atau yang terlewat. Insya Allah PP JPH bisa selesai tahun 2016 ini,” jelas Aminah dalam Diskusi Publik bertajuk “Mendorong Pelaku Usaha di Bidang Usaha untuk Memenuhi Kebutuhan Masyarakat akan Pangan yang Sehat dan Halal” di Hotel Sofyan Betawi, Jakarta.

Sertifikasi Masih Sukarela Sampai 16 Oktober 2019

Aminah mengatakan bahwa  pihaknya menyadari 17 Oktober 2016 adalah tepat dua tahun pembahasan rancangan PP JPH berjalan. Banyak peraturan pemerintah yang lewat dari waktu yang diamanatkan undang-undang, tapi karena UU JPH ini penting dan banyak yang membutuhkan sangat dipahami jika menjadi sorotan.

Dia menegaskan, bahwa rancangan PP JPH sendiri sudah 10 kali dibahas antar kementerian dan lembaga. Ada hal yang semula jadi persoalan seperti kewajiban atas obat dan kosmetik bisa diselesaikan. Kemenag memahami untuk obat, seperti vaksin, butuh waktu lama, maka ada bahasan aturan peralihan.

Dalam draf RPP JPH terbaru, tidak ada penyebutan waktu. Yang ada adalah pentahapan jenis produk bersertifikat halal sebagai persiapan kewajiban sertifikasi halal pada 2019. Maka di tahap satu adalah produk makanan dan minuman, tahap dua barang gunaan dan jasa, dan tahap tiga produk obat, kosmetik termasuk produk transgenik. ”Maka saat ini sifatnya masih sukarela sampai 16 Oktober 2019. Pada 17 Oktober 2019 barulah wajib,” tegas Aminah.

Sumber