
Lantas, seperti apa kisah perjalanan Yusuf untuk membesarkan nama tahu kuring Cibuntu di Pasar Jogja? Beberapa waktu yang lalu tim liputan BisnisUKM.com berkesempatan untuk ngobrol langsung dengan Yusuf, salah seorang perajin tahu kuring Cibuntu, yang membuka cabang di Yogyakarta. Berikut petikan wawancara tim liputan BisnisUKM.
Kapan pertama kami Anda memulai usaha tahu kuring ini?
“Tahu kuring sendiri aslinya dari Bandung, ini pabrik cabang Jogja. Aslinya dari Cibuntu, Jawa Barat. Berdiri sejak tahun 2010 untuk wilayah jogja, dan dipasarkan di sekitar Sleman, kota Jogja, Solo dan sekitarnya,'” jawab Yusuf.
Kenapa Anda memilih usaha tahu? Dan bagaimana awal mula merintis usaha tahu kuring ini?
“Pada awalnya kita jualan tahu dikirim dari Bandung, pakai kereta api dan kita jual di pasar tradisional dengan merek yang sudah ada Tahu Sutera Tahu Kuring dan dibawahnya ditulis tahu asli Cibuntu Bandung. Karena kita sengaja menjual brand Bandung yang sudah terkenal dengan kulinernya,” tambah lelaki asli Bandung tersebut
Apa saja kesulitan yang Anda hadapi ketika awal-awal memperkenalkan tahu kuring Cibuntu ke masyarakat Jogja?
“Pada awalnya kita mendapat kesulitan, ada perbedaan yang mendasar pada selera masyarakat. Kalau orang Jogja suka manis, kalau orang Bandung suka asin. Tahu kita memang tahu asin, pada mulanya banyak konsumen yang mengeluh tahunya enak lembut tapi asin. Semakin hari kita semakin mencoba pasar, melihat karakter orang Jogja, ternyata harus dikurangi kadar keasinannya. Tahun pertama kita terus mencoba, sampai akhirnya menemukan rasa yang pas dengan orang Jogja, tidak manis, dan juga tidak begitu asin,” Yusuf menuturkan.
Selain selera pasar, apakah ada kendala lain yang Anda alami selama merintis usaha tahu kuring?
“Tantangan lainnya ketika membuka pabrik di tahun 2010, sedang gencar-gencarnya isu borak, atau formalin. Saat itu isu tahu pakai formalin sedang ramai di Jogja. Maka kita sengaja membangun image tahu alami tidak pakai pengawet, tidak pakai pewarna. Ini warna kuning didapat dari kunyit dan sudah di bumbu. Saya kira disini pasar Jogja kebanyakan belum ada tahu yang sudah dibumbu. Baru ini tahu kuring yang tahu siap goreng, dimakan mentah juga bisa karena sudah berbumbu,” terangnya sembari tertawa.
Saat ini apakah usaha tahu kuring Cibuntu sudah bisa diterima pasar Jogja?
“Sebenarnya kendala selain keasinan dan tidak sesuai dengan selera konsumen Jogja, yang kedua adalah masalah harga. Tentu harganya beda dengan Bandung, orang Jogja pengennya harga murah meriah tapi enak. Untuk menampilkan murah meriah tapi enak, kita harus mengeluarkan ide-ide cemerlang agar tahu kita terlihat murah tapi tidak murahan. Kita membuat berbagai varian ukuran, disesuaikan dengan kebutuhan pasar,” jawabnya ketika ditanya tim liputan BisnisUKM.
Karena citarasa tahu kuring Cibuntu berbeda dengan tahu-tahu yang ada di Jogja, apakah perajin tahu disini didatangkan langsung dari Bandung?
Untuk bahan baku, apakah Anda juga mendatangkan langsung dari Bandung?
“Pertamanya kita pakai kedelai lokal, tapi lambat lahun harganya semakin sulit semakin mahal. Pas lagi musim ada, pas lagi nggak musim ya nggak ada. Sementara pabrik tahu kami harus produksi setiap hari, Sebetulnya ini peluang buat para petani, jika mau mengembangkan bisnis kedelai peluangnya masih terbuka lebar, Untuk pengrajin tahu, tempe, karena sebenarnya kami kekurangan bahan baku jika hanya mengandalkan kedelai lokal. Apalagi rasa kedelai lokal lebih enak daripada kedelai import, kalau ada pasti kami memilih kedelai lokal. Karena persediannya susah, kami terpaksa import. Padahal di bulan-bulan tertentu harga kedelai import lebih mahal, tapi karena memanjakan konsumen maka ketika harga kedelai mahal maka kita hanya untung sedikit. Kalau kita kurangi rasa atau ukuran, nanti nilai konsumen yang jadi korban,” ” jelasnya.
Selama ini untuk proses produksi, bahan bakar apa yang Anda gunakan? Apakah Anda juga mengalami kendala mengingat gas subsidi dibatasi penggunaannya untuk kalangan UMKM?
“Awalnya kita menggunakan bahan bakar gas, keuntungannya ruangan bersih dan hasilnya juga maksimal, karyawan juga tidak begitu capek karena tidak begitu panas. Tapi belakangan ini kan harga tabung tas semakin mahal, dan susah, kita UMKM tidak boleh menggunakan gas yang bersubsidi. Kalau mau, pakai gas yang besar tanpa subsidi, tentu harga tahunya jadi tidak terjangkau,” keluh Yusuf.
Lalu, bagaimana cara Anda mengatasi masalah bahan bakar untuk proses produksi tahu?
“Dari segi bisnis juga lebih menguntungkan, lebih murah harganya. Sampai sekarang saya masih coba-coba, beberapa partner juga sudah mulai menggunakan bahan bakar pellet karena bisa menghemat 30-40%. Untuk masalah rasa tahu juga tidak kalah enak, ketika menggunakan bahan bakar pellet rasanya mirip dengan tahu yang dimasak dengan kayu,” Yusuf menambahkan.
Terakhir, apa pesan Anda buat teman-teman di luar sana yang ingin terjun di dunia usaha?
“Buat teman-teman start up, saya mengajak dalam berbisnis tidak usah ragu tidak usah takut. Seringkali kita itu dihiraukan karena masalah modal, padahal sebenarnya modal itu nomor lima. Yang utama itu kemauan, yang kedua baca peluang pasar, yang ketiga produk unggulan kita apa yang akan ditawarkan ke konsumen yang berbeda. Misal di jogja banyak pengusaha gudeg, maka buat gudeg special dengan bahan baku yang lain. Kalau kita bersaing dengan yang sudah ada, kita jualan ayam dan bersaing dengan KFC tentu tidak sebanding,” pesannya.
Bagi Yusuf yang penting satu ada kemauan dan baca peluang pasar. “Pastikan produkmu memiliki pembeda. Jangan surut untuk melangkah, meski harus berawal dari nol,” pungkasnya.
Tim Liputan BisnisUKM
Boleh tau lokasi pabrik nya? atau tempat belinya?
Di daerah manakah pabriknya kalo boleh tau ? Boleh minta cp mas yg punya gg ? Kebetulan tugas akhir saya berhubungan dengan produksi tahu