Usaha Kebaya Klaten Jajaki Pasar Sejumlah Kota Besar

Bermacam kebaya dijual di Desa Kunden
Bermacam kebaya dijual di Desa Kunden mulai dari kelas umum hingga kelas selebriti.

KLATEN, JAWA TENGAH – Siapa sangka kebaya yang dijual di Tanah Abang, Jakarta, sebagian berasal dari sebuah desa kecil di Kabupaten Klaten. Warga Desa Kunden, Kecamatan Karanganom, Klaten ini sudah sejak lama berprofesi sebagai pembuat kebaya dan aksesorisnya. Tak hanya Jakarta, mereka mengirim kebaya ke sejumlah kota besar lainnya.

Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya menjadi kota yang rutin menjadi destinasi pengiriman kerajinan kebaya Kunden. Ada belasan produsen kebaya yang turun temurun memproduksi kebaya di sana. Mereka memproduksi baju pernikahan, baju pesta, baju adat, dan berbagai aksesorisnya.

Kerajinan kebaya di desa yang tak jauh dari Jalan Jogja-Solo itu sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Sri Hadi, tokoh masyarakat setempat menuturkan lahirnya sentra kebaya Desa Kunden tak bisa dipisahkan dari sosok bernama Suparman.

Suparman merupakan pengusaha aksesoris baju manten pertama di Kunden. Pria yang sebelumnya berprofesi sebagai tukang kebun itu menjual sabuk manten di Pasar Klewer, Solo, sekitar tahun 1970-an. Usahanya berkembang, hingga ia pun memproduksi satu set lengkap baju kebaya.

Waktu berselang para tetangga pun melirik kesuksesan Suparman. “Kesuksesan Suparman membawa dampak baik bagi warga Desa Kunden. Para tetangga turut membuat manik-manik dan aksesorisnya dan menjadikan Kunden sebagai sentra manik-manik dan kebaya,” ungkap Hadi, Selasa (29/11/2016).

Dari Sentra Lahirlah Para Desainer

Seorang karyawan tengah mengoperasikan mesin jahit untuk menjahit kebaya
Seorang karyawan tengah mengoperasikan mesin jahit untuk menjahit kebaya. Para produsen besar selalu membuat produk jadi, maka tak jarang dari mereka memiliki puluhan mesin jahit di rumah produksi mereka.

Dari belasan perajin kebaya, menurut Hadi ada empat produsen yang terbilang besar. Keempatnya memproduksi kebaya jadi. Warga secara kolektif memasok aksesoris dan kebutuhan bahan lain untuk keempatnya. Para karyawan pun sebagian besar para tetangga yang mewarisi keahlian membuat kebaya dari generasi sebelumnya.

Salah satu perajin, Joko Sasongko, bahkan mencatatkan namanya sebagai desainer nasional. Baju kebaya rancangannya sempat dipakai sejumlah artis dan diikutsertakan berbagai fashion show. Kini pewaris usaha milik Suparman tersebut mendirikan sendiri butik kebayanya yang tak jauh dari Desa Kunden.

Baca Juga Artikel Ini :

Tekuni Hobi Sedari Kecil Kini Serius Bisnis Bordir di Kudus

Naikkan Kelas Kain Perca Jadi Usaha Batik Berharga

Seperti kebanyakan perajin lain di Desa Kunden, Joko rata-rata mampu menghasilkan 100 potong kebaya dalam sehari. Mereka mematok harga yang bervariatif dari puluhan ribu hingga puluhan juta sesuai dengan desain dan kualitas.

Perajin lain, Riyanti, mengaku membuat baju kebaya tak semudah membuat baju biasa. Butuh proses yang panjang mulai dari memilih bahan hingga menempelkan manik-manik. Proses tersulit yakni menjahit aksesoris seperti manik-manik, payet, broklat dan bahan lain untuk mempercantik kebaya.

Beberapa pengerjaan membutuhkan waktu berbulan-bulan. “Baju kebaya pesanan bisa memakan waktu sebulan lebih. Kadang klien minta bahan terbaik dan itu harus didatangkan dari daerah lain, ” ungkap Riyanti.

Kebaya Menghidupi Ratusan Warga Kunden

warga Kunden menggantungkan hidupnya dari usaha kebaya
Sebagian besar warga Kunden menggantungkan hidupnya dari usaha kebaya, entah mereka produsen besar, kecil, karyawan, maupun perajin manik-manik.

Total ada ratusan orang yang merasa terhidupi dengan adanya usaha kebaya di Desa Kunden. Entah mereka berprofesi sebagai perajin kebaya, perajin manik-manik, atau distributor kebaya. Yang jelas, kebaya menjadi trademark Desa Kunden.

Riyanti berharap, hal tersebut dapat berlangsung selamanya. Menurutnya kebaya sebagai pakaian adat bangsa harus lestari selamanya. Selama itu pula warga Kunden siap membuat kebaya terbaik.

Riyanti juga berdoa agar warga Kunden tetap guyub rukun di tengah persaingan bisnis yang ada. “Harus ada paguyuban yang menaungi para perajin, agar satu dan lainnya tak merasa harus saling mengalahkan,” tutup Riyanti.

Tim Liputan BisnisUKM

(/Rizki B. P)

Kontributor BisnisUKM.com wilayah Solo Raya