
Sebagai penikmat sekaligus orang yang bergelut di seni wayang orang, Sugimo termasuk senior. Sugimo muda pertama kali belajar membuat kostum wayang orang dari pamannya. Waktu itu, Sugimo seperti anak muda lainnya; bersemangat dan menyenangi tiap hal yang ia kerjakan. Bersama rutinitas itu, akhirnya Gimo pun jatuh cinta pada wayang orang.
Bak gayung bersambut, di era yang sama, industri hiburan wayang orang tengah ramai-ramainya, apalagi di Solo dan Jogja, pusat kerajaan Jawa. Belum banyak berdiri bioskop dan mall. Orang berduyun-duyun datang di gedung wayang orang atau di panggung dadakan untuk menyaksikan pentas wayang orang. Belum lama berdiri, usaha Kostum Wayang Gimo pun banjir pesanan.
“Waktu itu pesanan sangat banyak, Mas. Saya bangun usaha kostum wayang orang ini bertahap, mulai dari satu item dulu. Kemudian secara bertahap saya belajar tentang filosofi wayang dan tokoh-tokoh pewayangan, hingga sekarang seperti ini,” kata Gimo kepada bisnisUKM.com, Kamis (5/10/2016).
Perjalanan Usaha Penuh Hambatan
Puncaknya saat tragedi ’98. Menurunnya daya beli masyarakat membuat hiburan bukan lagi prioritas mereka. Seluruh hiburan praktis sepi penonton, tak terkecuali pementasan wayang orang. Kostum buatan Gimo pun jadi barang gudang. Bahkan, Gimo terpaksa memberhentikan beberapa karyawannya karena persoalan finansial.
Alih-alih ikut menutup usahanya, Gimo mantap bertahan. Bermodal keyakinan, ia bangun lagi usahanya pelan-pelan. Ia berusaha keras agar suara mesin jahit tetap berbunyi di rumah sekaligus workshopnya di Dukuh Bacem, Langenharjo, Sukoharjo, sekitar dua kilometer dari pusat Kota Solo.
“Saya terpaksa bangun lagi dari awal waktu itu. Bersyukur, karena yakin, Tuhan pun mengabulkan. Sedikit demi sedikit, usaha kostum wayang orang ini kembali pulih. Sayangnya, karena terlanjur gulung tikar, yang lain banyak yang tak meneruskan,” kenangnya sore itu.
Jadi jujukan Pelaku Seni di Jawa
Dibantu enam karyawannya di rumah dan sejumlah perajin lepas, Gimo memenuhi seluruh permintaan. Pesanan pun datang dari berbagai daerah, paling banyak di Solo, Jogja, dan Jakarta. Untuk menampung semua permintaan, Gimo pun membuat kostum dengan 3 kualitas berbeda. Harganya berkisar mulai ratusan ribu hingga puluhan juta untuk satu set kostum tokoh wayang.
Selain keyakinan tinggi dan kecintaan terhadap wayang orang, Gimo ternyata menyimpan rahasia sukses lainnya. Ia berusaha dekat dengan semua orang, termasuk dengan para pegelut seni. Jaringan Gimo pun terbentuk secara alami, sehingga mereka secara getok tular merekomendasikan kostum wayang orang buatan Gimo.
Gimo yakin, dengan masih adanya sekolah seni yang mencetak penari dan pemain wayang orang usahanya akan selalu aman. “Kalau pertanyaannya takut terkena imbas modernisasi, saya tidak takut sama sekali. Saya yakin budaya Jawa khususnya wayang orang, tak akan pernah sekalipun mati,” tutupnya sumringah.
Tim Liputan BisnisUKM
(/Rizki B. P)
Kontributor BisnisUKM.com wilayah Solo Raya