Usaha Kostum Wayang Orang Tetap Bersinar Melintasi Zaman

Sugimo merupakan segelintir orang yang masih bertahan membuat kostum wayang orang. Tak banyak perajin saat ini dan Gimo termasuk yang moncer.SOLO, JAWA TENGAH – Beberapa dekade lalu, masih banyak orang yg menggeluti usaha pembuatan kostum wayang orang. Maklum, saat itu industri hiburan wayang orang masih sangat berjaya. Dibanding dulu, gebyar usaha itu kini tinggal menyisakan segelintir perajin, salah satunya Sugimo.

Sebagai penikmat sekaligus orang yang bergelut di seni wayang orang, Sugimo termasuk senior. Sugimo muda pertama kali belajar membuat kostum wayang orang dari pamannya. Waktu itu, Sugimo seperti anak muda lainnya; bersemangat dan menyenangi tiap hal yang ia kerjakan. Bersama rutinitas itu, akhirnya Gimo pun jatuh cinta pada wayang orang.

Untuk menampung produk pesanan, Gimo menyulap ruangan di rumahnya menjadi showroom. Ratusan kostum dan atribut wayang orang tertata rapi di sana.Paman Gimo orang yang ngayomi. Segala ilmu tentang wayang dan produksi kostum wayang orang ia wariskan pada keponakannya. Dan pada suatu waktu di tahun 1989, Gimo resmi membuka usahanya sendiri yang bernama Kostum Wayang Gimo.

Bak gayung bersambut, di era yang sama, industri hiburan wayang orang tengah ramai-ramainya, apalagi di Solo dan Jogja, pusat kerajaan Jawa. Belum banyak berdiri bioskop dan mall. Orang berduyun-duyun datang di gedung wayang orang atau di panggung dadakan untuk menyaksikan pentas wayang orang. Belum lama berdiri, usaha Kostum Wayang Gimo pun banjir pesanan.

“Waktu itu pesanan sangat banyak, Mas. Saya bangun usaha kostum wayang orang ini bertahap, mulai dari satu item dulu. Kemudian secara bertahap saya belajar tentang filosofi wayang dan tokoh-tokoh pewayangan, hingga sekarang seperti ini,” kata Gimo kepada bisnisUKM.com, Kamis (5/10/2016).

Perjalanan Usaha Penuh Hambatan

Salah satu yang ramai dipesan adalah irah-irahan. Pesanan memuncak menjelang peringatan 17 Agustus. Banyak orang yang memakainya untuk karnaval.Seiring perkembangan zaman, akhirnya peminat pentas wayang orang drastis berkurang. Pementasan pun semakin jarang. Hal itu tentu berimbas negatif pada industri pembuatan kostum wayang orang. Sejumlah produsen kostum wayang orang di Solo terpaksa tumbang satu satu.

Puncaknya saat tragedi ’98. Menurunnya daya beli masyarakat membuat hiburan bukan lagi prioritas mereka. Seluruh hiburan praktis sepi penonton, tak terkecuali pementasan wayang orang. Kostum buatan Gimo pun jadi barang gudang. Bahkan, Gimo terpaksa memberhentikan beberapa karyawannya karena persoalan finansial.

Alih-alih ikut menutup usahanya, Gimo mantap bertahan. Bermodal keyakinan, ia bangun lagi usahanya pelan-pelan. Ia berusaha keras agar suara mesin jahit tetap berbunyi di rumah sekaligus workshopnya di Dukuh Bacem, Langenharjo, Sukoharjo, sekitar dua kilometer dari pusat Kota Solo.

“Saya terpaksa bangun lagi dari awal waktu itu. Bersyukur, karena yakin, Tuhan pun mengabulkan. Sedikit demi sedikit, usaha kostum wayang orang ini kembali pulih. Sayangnya, karena terlanjur gulung tikar, yang lain banyak yang tak meneruskan,” kenangnya sore itu.

Jadi jujukan Pelaku Seni di Jawa

Sama seperti yang dilakukan pamannya, Gimo juga mengajari karyawannya cara membuat seluruh item kostum wayang orang. Ia tak takut tersaingi dengan membagi rahasianya itu.Saat ini, Sugimo memproduksi hampir seluruh jenis kostum wayang orang dan aksesorisnya. Jumlahnya terbilang ratusan. Untuk menampung itu semua, ia menyulap rumahnya  menjadi showroom dan mendisplay semua koleksinya, mulai irah-irahan (mahkota), hingga binggel kaki.

Dibantu enam karyawannya di rumah dan sejumlah perajin lepas, Gimo memenuhi seluruh permintaan. Pesanan pun datang dari berbagai daerah, paling banyak di Solo, Jogja, dan Jakarta. Untuk menampung semua permintaan, Gimo pun membuat kostum dengan 3 kualitas berbeda. Harganya berkisar mulai ratusan ribu hingga puluhan juta untuk satu set kostum tokoh wayang.

Selain keyakinan tinggi dan kecintaan terhadap wayang orang, Gimo ternyata menyimpan rahasia sukses lainnya. Ia berusaha dekat dengan semua orang, termasuk dengan para pegelut seni. Jaringan Gimo pun terbentuk secara alami, sehingga mereka secara getok tular merekomendasikan kostum wayang orang buatan Gimo.

Selain keluarga, Gimo dibantu belasan orang baik karyawan maupun pekerja lepas. Mereka bahu membahu menyelesaikan pesanan yang bisa ratusan item dalam satu bulan.Tak pelak, sejumlah pesanan rutin datang dari komunitas maupun institut seni yang ada, antara lain ISI Surakarta dan SMK N 1 Surakarta. Selain itu, Gimo juga rutin memasarkan di Pasar Bringharjo, Pasar Klewer, dan sejumlah toko kerajinan di Solo dan Jogja. Total omzet gimo puluhan hingga ratusan juta per bulan.

Gimo yakin, dengan masih adanya sekolah seni yang mencetak penari dan pemain wayang orang usahanya akan selalu aman. “Kalau pertanyaannya takut terkena imbas modernisasi, saya tidak takut sama sekali. Saya yakin budaya Jawa khususnya wayang orang, tak akan pernah sekalipun mati,” tutupnya sumringah.

Tim Liputan BisnisUKM

(/Rizki B. P)

Kontributor BisnisUKM.com wilayah Solo Raya