Tyovan Ari Widagdo (27) dikenal sebagai pengusaha muda sukses yang masuk namanya dalam daftar 30 Under 30 Forbes Asia 2017. Meski sudah sukses seperti sekarang, tak banyak yang tahu bagaimana jerih payah perjalanan dan proses yang harus dilaluinya sejak masih belasan tahun hingga sekarang.
Pria usia 27 tahun yang akrab dipanggil Tyo atay Topan ini memulai usaha ketika masih duduk di bangku SMA. Uang bukan tolok ukurnya dalam meraih kesuksesan. Hidupnya bagaikan lakon happy ending film Hollywood.
Seorang anak muda yang awalnya tak punya apa-apa, mencoba memulai sebuah usaha, belajar otodidak, sampai akhirnya berhasil memimpin perusahaan rintisan. Namanya kemudian masuk sebagai pengusaha muda yang sukses dalam daftar 30 Under 30 Forbes Asia 2017, demikian mengutip laporan Beritagar.id, Sabtu (17/6/2017).
Kisahnya lantas menjadi lebih dramatis lagi sewaktu terungkap bahwa latar belakangnya justru berasal dari orangtua penjual kupat tahu di Wonosobo, Jawa Tengah. Mereka harus berdoa dan berusaha siang-malam untuk menyekolahkan anak hingga sarjana. Demikian penuturan Tyovan Ari Widagdo sewaktu menggambarkan bagaimana kondisi ekonomi keluarganya.
Meski begitu, ia tak pernah menganggap kekurangan itu menjadi rintangan. Tak heran, ia jarang sekali menceritakan hal-hal sentimental terkait masa lalunya. Uang pun tak menjadi motivasi dan tolok ukurnya dalam bekerja. Ia justru ingin berbuat sesuatu yang berdampak besar bagi masyarakat.
Wonosobo yang letaknya sekitar 120 kilometer dari Semarang menjadi saksi perjuangan Tyovan dari nol. Cerita bermula saat ia remaja, saat kota itu hanya memiliki dua warung internet (warnet). Dalam seminggu, dua sampai tiga kali ia menghabiskan waktunya di warnet.
Kalau sudah di warnet, ia jadi tak ingat waktu. Padahal, tarifnya Rp 7 ribu per jam, sementara uang sakunya hanya Rp 5 ribu per hari.
“Buat internetan cuma setengah jam tok, itu aja nggak dapat es teh . Ha ha ha…,” ungkapnya dalam logat Jawa yang kental.
Ia tak hilang akal, berbekal bacaan dari dunia maya dan buku-buku di perpustakaan daerah, ia belajar meretas secara otodidak. Catatan tagihan warnet yang seharusnya berisi enam jam pemakaian, bisa ia ganti jadi hanya sejam.
“Pengunjung warnetnya ramai, jadi saya tidak ketahuan sudah lama di sana,” imbuh lajang berusia 27 tahun itu.
Kemampuan meretasnya meningkat. Situs jual beli di Belanda dan sebuah sekolah menengah atas favorit di Jakarta Barat pernah jadi korbannya. Membobol kartu kredit pun bukan perkara sulit baginya. Untuk mengecek kartu tersebut aktif, ia masuk ke situs porno. Kalau bisa jadi premium membership, berarti bisa dipakai.
Tapi semua kemampuan itu tak ia pakai utnuk memperkaya diri.
“Sebagai hacker, kalau bisa membobol itu puasnya minta ampun,” sahutnya. Di satu titik ia merasa puas, namun di sisi lain pun ia sudah bosan setelah selama dua tahun melakukannya.
Setelah sukses jadi hacker, Tyovan beralih menjadi pengusaha. Ia merintis perusahaan pertamanya ketika berumur 16 tahun. Sebuah perusahaan penyedia jasa teknologi informasi bernama Vemobo.
Lalu ia mendirikan perusahaan penyedia aplikasi untuk belajar bahasa asing, Bahaso, pada 2015. Baru dua tahun berjalan, bisnis ini mendapat suntikan dana sebesar US$500 ribu atau Rp 6,6 miliar. Penggunanya sekarang sudah mencapai 150 ribu orang.
“Kalau mau melakukan hal besar yang berdampak ke masyarakat, Tuhan pasti kasih jalan,” kata pria yang akrab dipanggil Tyo atau Topan itu.
Baca Juga Artikel Ini :
Meski Drop Out Kuliah, Pemuda Ini Justru Sukses Besarkan Bisnis Game
Dari Ide Sederhana, Dua Pemuda Ini Angkat Indonesia di Mata Dunia
Dalam satu jam ia dua kali menyebut kata itu dalam satu kalimat. Tuhan dan jalan. Kesuksesan tak membuatnya jumawa, seolah apa yang ia lakukan belumlah sampai puncaknya.
Ia ramah bercerita kepada media, di kantor Bahaso Building, Jalan Suryopranoto No. 29A, Gambir, Jakarta Selatan. Banyak anekdot dan komentar lucu terucap dari mulutnya. Kadang, ia tertawa terbahak-bahak mengingat masa lalunya.
Perjalanan hidupnya berubah setelah ia menerima skors dari kepala sekolahnya di SMA 1 Wonosobo. Selama dua minggu ia tak boleh mengakses laboratorium komputer. Penyebabnya, virus yang ia buat, Pelajar, tersebar hingga ke seluruh komputer sekolah.
Virus ini bisa mengubah nama folder dari komputer yang terinfeksi menjadi nama-nama mata pelajaran, seperi matematika, fisika dan lainnya. Ia tak lepas tangan dalam kasus ini. Antivirus untuk menangani Pelajar ia berikan gratis kepada yang membutuhkan.
Tak Sengaja Belajar Broadcasting dan Jurnalistik
Waktu itu, Tyovan sangat perlu mengakses komputer demi misi penting, yaitu membuat situs Wonosobo.com. kalau terus menerus ke warnet, uang saku bisa ludes tak berbekas. Lagi-lagi, Tyovan tak hilang akal.
Kebetulan ketika itu sekolahnya sedang mendirikan klub broadcasting radio.
“Komputernya canggih banget,” ujarnya. Ia bertekad untuk masuk ke dalam ruangan itu apapun caranya. Masuk menjadi pengurus merupakan target Tyovan berikutnya. Pelatihan selama 3 hari dan mengikuti lomba menjadi penyiar membuahkan hasil.
Tak hanya menjadi pengurus, Tyovan juga jadi juara pertama dalam perlombaan tersebut, otomatis dia menjadi ketua klub dan pemegang kunci ruangan berkomputer itu.
“Ini jalan Tuhan,” ulangnya.
Ia mengerjakan Wonosobo.com gara-gara teman bicaranya di Yahoo!Messenger yang berada di luar negeri tak bisa mengakses informasi tentang Wonosobo. Padahal banyak dari mereka ingin datang ke Indonesia untuk berwisata.
Akhirnya, ia memecahkan celengan berisi Rp 100 ribu utnuk membeli situs. Selama dua bulan, ia menyelesaikan desainnya. Desainnya kelar, masalah selanjutnya adalah data.
Karena situs ini berisi potensi kota dan pariwisata Wonosobo, semua data hanya bisa ia peroleh dari pemerintah daerah. Jadi, setiap pulang sekolah ia mendatangi suku dinas setempat untuk mendapatkannya. Semua menolak.
Sampai akhirnya ia menghubungi bagian hubungan masyarakat, barulah ia mendapatkan bantuan. Portal telah berisi dan Tyovan pun meluncurkannya di depan kepala satuan kerja perangkat daerah.
Ia masih ingat acara peluncuran itu berlangsung ketika masa ujian semester. Tyovan datang dengan seragam sekolah. Hari berikutnya, nama dan fotonyalah yang terpampang di koran lokal setempat. Par aguru dan teman-teman di sekolah terkejut karena yang mereka tahu, Tyovan hanya anak bandel yang selalu terlambat masuk kelas pagi.
Portal ini sukses karena banyak yang mengakses. Tyovan memang berharap dengan kontribusinya itu, aktivitas ekonomi di dataran tinggi Dieng bisa bergeliat lagi. Penduduk tak lagi bercocok tanam kentang yang kerap menghancurkan unsur hara tanah, tapi kembali ke pariwisata.
Pengunjung yang bertambah, membuatnya tersadar harus ada pemasukan untuk kelangsungan hidup situs. Iklan pertama ia dapat dari sebuah hotel dan restoran bernamaAsia senilai Rp 2 juta. Semua pendapatan itu ia gunakan untuk biaya operasional.
Tak puas dengan data, Tyovan lalu ingin mengembangkan situs Wonosobo.com menjadi portal berita. Ia menghubungi wartawan yang memuat kisahnya di surat kabar.
“Saya bilang ke dia mau belajar jadi wartawan,” katanya.
Kadung sudah ingin, tak ada aral yang bisa merintanginya. Selama tiga bulan, tiap pulang sekolah ia ikut liputan, mewawancarai narasumber, menulis, dan mengunggahnya keWonosobo.com. dari sinilah ia menemukan dunia jurnalistik yang menjadi renjananya.
“Ibaratnya, kalau tidak mau jadi Tyovan yang sekarang, saya mau jadi jurnalis,” tukas Tyovan.
Keberhasilannya mengelola situs membuat Tyovan harus mengorbankan pelajaran di sekolah. Ranking dua terbawah adalah posisi terbaiknya saat itu. Meski begitu, orangtuanya tak pernah memarahi kesibukan Tyovan. Ia dibebaskan berbuat apapun oleh orangtuanya selama itu tidak negatif.
Bikin KTP Palsu untuk Dirikan Perusahaan
Setelah Wonosobo.com berhasil, mulailah banyak berdatangan penawaran untuk pembuatan website. Fee yang diperoleh pun terbilang cukup, dengan kisaran Rp 1 hingga 3 juta per situsnya. Tyovan tak harus hidup pas-pasan lagi berkat skill yang dimilikinya.
Karena saat itu dirinya belum cukup umur untuk mendirikan perusahaan, ia lantas memalsukan KTP-nya yang didapatkannya dari dunia retas meretas. Setelah mendapatkan KTP, ia lantas mengenakan pakaian yang layak dan pergi ke notaris yang berbeda untuk mendirikan perusahaannya. Dan ternyata berhasil.
Perusahaan yang didirikannya itu dinamakan Vemobo Citra Angkasa. Setelah itu ia langsung menyelesaikan proyek seharga Rp 25 juta. Hasil kerja kerasnya ia gunakan untuk membeli laptop.
Akhirnya saya punya cangkul sendiri,” ungkapnya penuh syukur.
Dari Vemobo ke Bahaso
Di tahun 2007, mega proyek paling akbar mendatanginya. Ia hanya menyebutkan, sebuah instansi besar milik pemerintah minta dibuatkan portal kepadanya. Total proyek ini seharga Rp 25 juta, yang tentu tak bisa ditolak oleh Tyovan. Meski menerimanya, faktanya ia masih terkendala maslaah administrasi lantaran belum memiliki badan usaha.
Ia lantas pergi ke notaris untuk membuat perusahaan bernama CV Vemobo yang bergerak di bidang perangkat lunak dan teknologi informasi. Saat itu, Wonosobo belum pernah mendirikan perusahaan seperti ini, sehingga sang notaris hanya berkomentar, “Bagus, keren,” dan memintanya pulang.
Semua yang ia kerjakan selama ini, menurut Tyovan, tak bisa diukur dengan uang. Justru kesuksesan adalah ketika bisa bahagia dengan pekerjaan yang dijalani, apalagi kalau hal itu membawa dampak positif ke masyarakat.
“Saya ingin ketika mati setidaknya bisa meninggalkan sesuatu yang bisa dirasakan orang lain,” ujarnya. “Kalau (hanya) mencari uang, tidak ada habisnya.”
Ketika namanya masuk dalam daftar 30 Under 30 Forbes Asia, Tyovan mengaku cukup kaget dan menganggapnya sebagai cobaan. Ia jadi terpacu untuk bekerja lebih baik lagi.
Yang menarik, kelima teman karibnya di Stanford memutuskan tidak melanjutkan kuliah alias dropout. Tapi mereka sukses jadi pebisnis dan masuk 30 Under 30 Forbes AS.
Tyovan bernasib lebih baik dari mereka karena bisa lulus kuliah dan masuk dalam daftar yang sama versi Asia. “Mungkin ini jalan Tuhan,” katanya sambil terus menyunggingkan senyum.