Ismi Yati merintis usaha “Super Roti” dari Semarang, Jawa Tengah dengan modal pinjaman sebesar Rp 30 juta. Hanya dalam empat tahun, kini ia bisa meraup omzet Rp 100 juta per bulan dari berjualan roti. Apa rahasianya?
“Kita buat inovasi dari bekatul beras merah,” ujar Ismi kepada Katadata di sela-sela DBS Asian Insights Conference 2016, pertengahan November lalu.
Bekatul merupakan bagian terluar dari bulir beras yang terbungkus sekam. Selain serat, kandungan gizi bekatul adalah vitamin B1, pati, mineral dan protein.
Berbeda dengan terigu, menurut Ismi, bekatul susah susah gampang untuk diolah menjadi roti. Takarannya harus pas, sebab bila tidak, rasanya tak akan enak.
Selain itu, untuk mempertahankan nilai gizi, Ismi juga tak ingin menggunakan gula pasir dan margarine. Maka ia harus mencari alternatif. “Kita pernah coba, gula aren, gula semut, gula palem, gula rendah kalori, macam-macam pemanis tidak ada yang cocok,” katanya.
Setelah berbagai percobaan merepotkan itu, Ismi akhirnya menggunakan fruktosa atau zat pemanis buah. Sementara untuk menggantikan margarine, ia menggunakan minyak kelapa dan madu.
Tak ingin menyisakan sedikit pun keraguan soal kandungan gizi, Ismi membawa roti buatannya ke laboratorium. Hasilnya, “Super Roti”dipastikan sehat. “Penderita diabetes pun bisa mengkonsumsi roti ini,”katanya.
Makin Banyak Roti Terjual Makin Tebal Keuntungan yang Didapat
Setelah menemukan resep mujarab, Ismi tak kesulitan memasarkan produknya. Selain para penderita penyakit gula, saat ini makin banyak orang menjalani gaya hidup sehat meminati produknya. Pasarnya tersedia, sementara pesaingnya tak ada. “Supplier-supplier datang sendiri,”katanya.
Makin banyak roti terjual, makin tebal juga modal Ismi. Dapurnya pun tambah besar. Dari yang hanya mengolah 10 kilogram bekatul, kini sudah 100 kilogram yang dibuatnya jadi roti setiap hari. Dari hanya mempekerjakan tiga karyawan, kini pegawainya sudah 20 orang. “Omzet kotornya sudah Rp 100 jutaan lebih sebulan,” ujar Ismi.
Peningkatan omzet tersebut salah satunya merupakan kontribusi dari program wirausaha DBS Big yang merupakan hasil kerjasama dengan Katadata, Bukalapak dan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Ismi mengatakan, berkat program tersebut, nama Super Roti semakin dikenal di Indonesia. Ia juga kerap diundang dinas dan kementerian untuk menjadi pembicara maupun peserta pameran.
Mereka, kata Ismi, ingin melihat roti yang dibuat dari bekatul. Perjalanan ini juga yang akhirnya mempertemukannya dengan para investor baru. Dua rekan Ismi yang bekerja di Tunisia dan Filipina tertarik untuk menjadi penanam modal Super Roti dan sudah mengajukan penawaran.
Calon investor dari Tunisia itu ingin Super Roti memperluas cakupan bisnisnya hingga ke Jakarta. Sementara itu, calon pemberi dana dari Filipina ingin Ismi tetap fokus di Semarang. Ismi memilih yang kedua.
Jika sudah siap melebarkan sayap ke luar Semarang, Ismi ingin membangun jaringan pemasaran di kota-kota yang menjadi tujuan wisata di Indonesia. Ismi ingin mengubah citra roti bekatul dari “oleh-oleh khas Semarang” menjadi “cemilan sehat Indonesia”.
Jalan Ismi tak selalu lancar. Saat keuangannya sulit dan terpaksa melakukan efisiensi, beberapa pegawai justru meninggalkannya. Maka, ia berpesan untuk para pengusaha baru. “Jatuh bangun itu biasa. Semangat lah yang menjadikan kita meraih sukses,” ujarnya.