SOLO, JAWA TENGAH – Kelurahan Jagalan merupakan satu dari 51 kelurahan yang ada di Kota Bengawan. Layaknya kelurahan lain, Jagalan mempunyai sesuatu yang spesial. Yap, nama Jagalan diangkat dari kata Jagal karena tempat tersebut dulunya penuh jagal sapi, bahkan hingga kini warganya masih memproduksi jajanan yang tak jauh dari bahan sapi.
Sejak zaman penjajahan Belanda, baik Pemerintah Hindia Belanda, Keraton Kasunanan Surakarta, maupun priyayi ningrat menggunakan jasa penyembelihan sapi warga Jagalan. Bahkan sebuah monumen abbatoir atau tempat penyembelehan sapi yang didirikan Pakubuwono X tahun 1903 masih berdiri kokoh sampai sekarang dan dijadikan kantor Dinas Peternakan.
Adanya abbatoir membuat penyembelehan sapi di Jagalan semakin ramai. Bila daging sapi dimasak lalu dihidangkan untuk kaum bangsawan dan priyayi, tidak untuk kulitnya. Kulit sapi yang disembelih sebagian dilempar ke para perajin wayang dan kerajinan lainnya, sebagian lagi diolah oleh warga menjadi jajanan rambak petis.
Saat ini masih ada sekitar lima rumah produksi rambak petis dan sejumlah toko yang menjualnya di Jagalan. Para pelestari tradisi itu berhasil membawa Jagalan sebagai sentranya rambak petis di Kota Solo. Mayoritas dari mereka berusaha secara turun temurun. Baik pemilihan bahan, resep, hingga cara pengolahan semua diturunkan dari pendahulunya sehingga menciptakan cita rasa yang berbeda beda.
Rambak Khas dari Solo
Tim BisnisUKM.com berkesempatan mengunjungi beberapa usaha rambak petis di Jagalan, Jebres, Solo. Pertama, tim mampir di usaha Rambak Petis Pak Dul yang kini dikelola oleh generasi keduanya. Budi, sang pewaris generasi kedua mengaku mempertahankan proses produksi yang terbilang rumit, mulai dari memilih kulit, merebus, memotong, menjemur, hingga memasak dengan kayu bakar.
“Di antara semuanya yang tersulit adalah merendam potongan kulit sapi kering dalam minyak hangat sebelum dimasak. Proses perendaman tersebut memakan waktu 8 jam dan harus terus diaduk untuk tahu matang atau belum,” ungkap Budi. Pengangkatannya pun harus tepat waktu, lanjutnya, karena kalau tidak rambak tidak akan mengembang sempurna.
Melihat prosesnya yang panjang, rambak tersebut menjanjikan tekstur yang lembut. Cara memakannya pun berbeda. Memakan rambak petis mesti dicocol dengan sambal petis sehingga rasa gurih rambak dan pedas manis petis mampu perpadu di dalam mulut.
Proses pembuatan sambal petis tak jauh dari sapi. Sambal yang memberi sensasi berbeda tersebut terbuat dari kaldu kulit sapi yang direndam bersama rempah-rempah dan bumbu lain seperti garam.
Atasi Gempuran Makanan Modern
Di tempat lain, kami bertemu Wawan yang kini mengelola usaha rambak petis yang didirikan kakeknya puluhan tahun lalu. Kakek Wawan termasuk pionir produsen rambak petis di Jagalan. “Dengan mempertahankan resep kakek, pelanggan lumayan loyal. Mereka tak hanya membeli jajanan, tapi juga cita rasa,” ungkapnya. Dalam sehari Wawan mengaku mampu memproduksi 15 hingga 20 kilogram rambak.
Bila dibanding beberapa dekade sebelumnya, para produsen tersebut mengaku omzetnya turun. Mereka harus putar strategi agar cashflow usahanya tak berhenti. Bila dulu Wawan hanya menanti pelanggan di rumahnya, kini ia bergerak menjemput pelanggan. Ia menjajakan rambak petis ke beberapa toko oleh-oleh dan restoran. Beberapa di antaranya bahkan di luar Jawa.
Selain itu, ia juga membuat variasi ukuran rambak dan takaran packaging. Menurutnya pembeli itu macam-macam, ada yang mencari untuk kudapan keluarga, untuk oleh-oleh, dan ada yang dijual kembali. Dengan memberi mereka pilihan, diharapkan mampu memuaskan mereka sehingga mau kembali lagi.
Meski akses masuk Jagalan tak semudah kampung di tengah kota, Wawan dan Budi sepakat bahwa pelanggan selalu menemukan mereka. Sensasi rasa dan cara makan yang berbeda membuat pembeli tak pernah merasa rugi meski ia datang dari kota besar menuju gang-gang di tengah Kampung Jagalan.
Tim Liputan BisnisUKM
(/Rizki B. P)
Kontributor BisnisUKM.com wilayah Solo Raya