Mengusung kekayaan budaya sebagai peluang usaha, ternyata berhasil mengantarkan Anindyah bersama empat sahabatnya menuju pintu kesuksesannya. Berbekal pengalaman yang Nindyah dapatkan ketika Ia masih aktif di sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), pada pertengahan tahun 2004 silam, Ia ditugaskan LSM tersebut untuk melakukan pemberdayaan terhadap pengembangan hasil hutan non kayu di Kepulauan Sumba, Nusa Tenggara Timur.
Ketika itu Nindyah ditugaskan untuk memberikan pelatihan teknik pewarnaan alami (menggunakan tumbuhan) kepada masyarakat di Desa Waingapu, Sumba Timur yang notabene sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai pengrajin kain tenun ikat khas Sumba. Dari sinilah Nindyah mendapatkan sebuah pencerahan dan mulai tertarik untuk memperkenalkan kecantikan tenun ikat tradisional khas Sumba kepada masyarakat luas di penjuru nusantara.
Walaupun saat itu Nindyah masih bertugas di tanah Sumba, namun Ia mengirimkan belasan meter kain tenun ikat ke daerah tempat tinggalnya (Bogor), kemudian Ia menggandeng empat sahabatnya yakni Ita Natalia, Paramita Iswari, Rina Anita, dan Westiani Agustin untuk menginovasikan kain-kain tersebut menjadi beragam jenis produk baru yang lebih fungsional dan terlihat modern sesuai dengan perkembangan pasar saat ini.
Menjalin kerjasama dengan salah seorang sahabatnya yang tinggal di Yogyakarta, proses produksi dipercayakan kepada Ani (Westiani Agustin) yang kebetulan pandai dalam menjahit. Benar saja, kain tenun tersebut kemudian dikreasikan menjadi aneka macam kerajinan tangan yang sangat cantik, seperti agenda, boks, tas, sarung bantal, kantong hp, dompet, alat-alat stationary, bed cover, dan lain sebagainya.
Berinovasi Dengan Kain Lurik
Setelah selesai bertugas dari Kepulauan Sumba, Nindyah pun memutuskan pindah ke Daerah Istimewa Yogyakarta mengikuti langkah suaminya yang saat itu dipindahtugaskan ke kota pelajar tersebut. Kondisi ini tentu semakin memudahkan Nindyah dalam mengembangkan usahanya. Setelah sukses memperkenalkan kain tenun ikat khas Sumba kepada masyarakat luas, Nindyah dan Ani tak pernah berhenti berinovasi dan memilih kain lurik khas Yogyakarta sebagai salah satu bahan alternatif yang cukup potensial untuk dikreasikan menjadi beragam jenis produk fashion yang tak kalah cantik.
Menjalin kerjasama dengan seorang pengrajin kain lurik di daerah Nanggulan, Kulonprogo, Yogyakarta, lima sekawan ini mencoba melestarikan kain tenun tradisional Jawa dengan tampilan yang lebih cantik dan modern. Bila sebelumnya kain lurik cenderung memiliki warna yang gelap dan hanya dijadikan sebagai kain tradisional bagi para petani, abdi dalem keraton, serta buruh gendong di Pasar Bringharjo, kini House of Lawe hadir menciptakan warna-warni baru yang bertujuan mengangkat kain tenun tradisional di pasar nasional maupun pasar internasional.
Seperti halnya merek yang mereka angkat (Lawe) yang memiliki arti serat alam untuk bahan tenun, Nindyah bersama keempat sahabatnya selalu mempertahankan keaslian produk yang mereka produksi, dan tetap menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) dalam pembuatan kain lurik. Selain itu, Ia juga menggandeng kurang lebih 50 orang penenun kain lurik di Daerah Bantul serta sekitar 20 orang penjahit yang semuanya mayoritas perempuan, untuk menjalankan kerajaan bisnisnya.
Keseriusan lima sahabat ini dalam melestarikan kain tenun tradisional Indonesia, ternyata tidak hanya mendapatkan apresiasi dari berbagai kalangan, namun juga bisa mendatangkan untung besar setiap bulannya. Dibandrol dengan harga Rp 30.000,00 sampai dengan Rp 1, 1 juta per pcs, kini House of Lawe berhasil mengantongi omzet hingga mencapai Rp 800 juta per tahun.
Tidak hanya itu saja, sekarang ini House of Lawe sedang menjalankan sebuah program menarik yakni Sisterhood of Lawe untuk mengajak para pengrajin kain tenun khususnya para perempuan Indonesia, untuk melestarikan kekayaan budaya bangsa dengan mengangkat kembali citra kain tenun tradisional di berbagai penjuru nusantara. Terbukti, sekarang ini Lawe telah menjalin kerjasama dengan para pengrajin kain tenun di Sumatera Barat, Bali, Sumatera Utara, Palembang, Lampung, NTT, dan lain sebagainya.
Semoga kisah profil sukses pengusaha yang melestarikan tenun tradisional Indonesia ini, bisa memberikan manfaat bagi para pembaca dan menginspirasi seluruh masyarakat di Indonesia untuk segera terjun memulai usaha. Mulailah dari yang kecil, mulai dari yang mudah, mulai dari sekarang. Salam sukses.
Sumber gambar : 1. http://naningisme.files.wordpress.com/2012/03/04-showroom-house-of-lawe.jpg 2. http://2.bp.blogspot.com/_JXTwQVfKngo/S8nH7ePZYRI/AAAAAAAAAy4/Gq3l5P1CWkQ/s320/wallet+01.jpg
bisa jadi reseller ga gan,,