
Mengingat besarnya permintaan konsumen terhadap produk kroto, wajar adanya bila sekarang ini larva semut ini memiliki nilai jual yang cukup tinggi di pasaran. Bahkan seiring dengan meningkatnya permintaan pasar, sekarang ini ketersediaan kroto di pasaran cukup terbatas, sehingga tak jarang para pecinta burung cukup kesulitan untuk mencari kroto.
Melihat kondisi tersebut, tim bisnisukm tertarik menyambangi salah satu penggiat komunitas kroto yang cukup terkenal di Desa Sukolilo, untuk melihat lebih dekat bagaimana proses budidaya kroto menggunakan toples.
Terletak sekitar 35 km ke arah Utara dari Kabupaten Grobogan, rasanya tak terlalu sulit untuk menjangkau lokasi komunitas kroto di Desa Sukolilo ini. Hawa sejuk khas perbukitan yang masih terasa serta melimpahnya potensi kekayaan alam di sekitarnya, tak ayal membuat masyarakat di sekitar hutan tersebut mengambil kekayaan alam khususnya ‘Kroto’ sebagai mata pencaharian mereka setiap harinya. Atas latar belakang itulah, Triyono (31) tergerak untuk mengawali komunitas kroto di Desanya agar tingkat kebutuhan kroto di berbagai daerah dapat dipenuhi secara kontinyu.
Resiko itulah yang kemudian mendorong Tri (panggilan akrab Triyono) bersama teman-teman yang juga tertarik dengan bisnis kroto ini untuk mulai mempelajari bagaimana caranya menangkar atau membudidayakan semut rangrang penghasil kroto. Mengawali bisnis budidaya semut penghasil kroto sejak tahun 2005 yang lalu, komunitas kroto yang digawangi Triyono ini telah dapat menjawab kesulitan-kesulitan dan kendala para pelaku bisnis serupa ketika harus mencari kroto di alam bebas.
“Dengan penangkaran semut rangrang penghasil kroto ini, saya dan teman-teman tidak harus jauh-jauh mencari kroto ke hutan, pemenuhan kebutuhan pasar juga bisa tetap stabil dan sekaligus menjadi wahana pelatihan bagi rekan-rekan yang tertarik di bidang bisnis kroto ini,” ungkap Tri. Disamping itu, bibit semut rangrang dan telurnya atau krotonya juga memilikii nilai ekonomi yang cukup tinggi sehingga bisa memberikan keuntungan besar bagi para pelakunya dan menjaga kelestarian hutan serta habitat semut tersebut karena tidak merusak pohon sebagai sarang asli di alam/hutan.
Sebagai contoh saja, untuk tahap awal pemula hanya membutuhkan 100 hingga 300 toples bibit sarang semut rangrang ini dengan kisaran harga per toples sekitar Rp 65.000,00. Jadi dengan asumsi 100 toples saja hanya mengelurkan modal Rp 6.500.000,00 ditambah dengan tambahan alat-alat lain diperkirakan total modal yang dibutuhkan sekitar Rp 8.500.000,00. Cukup terjangkau karena investasi di awal bisa untuk waktu yang cukup lama dan BEP yang relatif singkat saja. Sedangkan untuk kebutuhan operasional seperti misalnya pakan, ternyata hanya 10% dari total keuntungan. Sangat-sangat efisien jika dibandikan dengan bisnis budidaya hewan lainnya.
Untuk analisa perhitungan keuntungan adalah per 10 toples mampu menghasilkan 5 ons kroto, dengan asumsi per ons Rp 25.000,00 sampai Rp 30.000,00. Jadi untuk per kg bisa mencapai kisaran harga hingga Rp 250.000,00, dengan asumsi 100 toples menghasilkan 5 kg kroto siap jual maka Anda bisa meraup total omzet sebesar Rp 1.250.000,00 setiap kali panen. “Biasanya panen kroto dilakukan per 3 bulan, ini dilakukan agar koloni semut tersebut nyaman karena dengan merasa nyaman mereka akan menghasilkan kroto yang bagus dan banyak,” ujarnya sembari menutup perjumpaan kami siang itu.
Artikel Ditulis Oleh :
Tim Liputan BisnisUKM
Kantor Cabang Jawa Tengah
sy minat jalani bisnis ini. perlukah pelatihan khusus?
Saya butuh pengarahanya,bgmana n dimana saya bisa brlajar dan memulai ternak semut?
Kalau mau belajar ke siapa? di mana?
Kalo para pemula memulai budidaya kroto tersebut,apakah ada pengepul hasil panennya?Andai di wilayahnya tidak habis terjual
cukup dikasih makan ulat/jangkrik.
untuk minumannya juga mudah hanya air gula shob.
semoga bermanfaat………..
koq kurang detil infonya min..??
bisa minta info ttg ulat kandang ga min??
kalo boleh saya minta info ttg ulat kandang..
kalo boleh tau .kroto it dksh makan ap y om?